iklan banner
[recent]

Sabtu, 28 September 2019

JURNAL NOKTURNAL II




Seandainya kita tak punya banyak waktu untuk bicara.
Ini tetap senyumku yang paripurna. Akan kuingat malam-malam sepi yang menggelitik geli. Juga lelucon kita yang terkadang mengundang jijik. Kini hampir basi.
Kau lupa cara tertawa dan aku banyak kehilangan kosakata.

Masa itu terkenang juga.
Aku terdiam. Setelah kemenangan telakku, pada setiap adu argument yang menjengkelkan waktu itu. Di titik ini aku kembali kalah, sekalah-kalahnya seseorang yang pernah kalah.
Ada bulir air serupa embun jatuh di sudut mataku. Adalah hal yang menyebalkan saat aku mulai menyadari, sebagian dari diriku tak bisa kembali.
Namun, kau tetap menjelma rumah. Padamu doa-doaku berpulang sekalipun aku sedang payah.

Tiba-tiba saja kau menghilang di ujung jalan sepi. Kali ini aku tak ingin berlari. Tak akan menjauh. Kusudahi sekarat menepis hasrat. Aku membutuhkanmu. Menunda malu mengakui itu.

Kita adalah dua sunyi yang saling menemukan. Tentang hari ini, firasatku pernah berkata kau akan hilang. Tiba masa tak ada lagi pembicaraan kita yang menyenangkan. Aku seperti telah bersiap dengan hati lapang.

Entah dirimu masih dalam sudi sekadar menyebutku teman. Bukankah sebaik-baiknya jika dulu debar ini kupadamkan?

Maka, seandainya kita tak punya banyak waktu lagi untuk bicara.
Ini malam aku tetap ingin menitip rasa terima kasih yang sama. Kau sudah datang, singgah di hidupku yang membosankan.

Aku sedang terjaga di sepertiga malam. Bisik Tuhan, yang menjadi hakku akan datang padaku.
Begitu pula perihal kamu. 

Janari, 28 September 2019.


Sabtu, 20 Juli 2019

SAJAK WANI



Cinta.
Seseorang pernah berkata, "Cinta, selalu ingin menjadi segalanya." Cinta ingin menjadi atap pada rumahmu, cinta ingin menjadi kata pada setiap ucapmu, cinta ingin menjadi kayu bakar pada api unggunmu.

Cinta ingin menjadi apa pun tentang dirimu. Sayangnya, cinta hanyalah sebentuk rasa yang bisa berubah. Kau tidak akan menemukan cinta dengan wajah yang sama saat kau mengedipkan mata.

Suatu masa, seseorang akan merasa saling menemukan satu sama lain. Seperti hujan di bibir kemarau, menjelma ia sebagai anugerah terindah. Membujuk dengan segala upaya. Mengetuk-ngetuk tanpa tahu waktu sampai pintu itu terbuka. Dengan apa pun sudi ditebus, meski harus menumpuk banyak topeng pada wajah. Kemudian basi. Kembali tetap sunyi jadi kawan sejati. Saling mencari, padahal tengah duduk saling berhadapan. Kau di mana, dia ke mana.

Apakah selalu seperti itu cinta?

Bernaungkan semburat jingga, sore itu dua manusia duduk di bawah dahan-dahan gundul yang ditinggal gugur oleh daunnya. Angin berembus, kadang kencang, kadang hilang. Terombang-ambing rasa mereka dalam diam yang keramat. Tidak ada “hai, apa kabar” atau “aku merindukanmu”. Beku.

Padahal ini pertemuan yang mahal, meski waktu keduanya terhitung lapang. Bahkan ponsel telah hampir menjadi bangkai, tidak terpakai. Dulu, setiap sempat jemari bercumbu dengan layar gawai, ada rindu yang debarnya selalu tak bisa menunggu. Kerap tersenyum seorang diri seperti orang gila. Entah memang begitulah pertanda sang mabuk cinta. Menggebu, lalu menjadi abu.

"Antarkan aku ke masa lalu," ucap Wani memecah bisu. Nanar matanya memandang lurus ke depan. Kedua telapak tangannya dikepalkan, meredam gejolak yang lama terpendam.

"Maksudmu?" tanya Bait, lelaki itu mengerutkan dahi.

"Bawa aku ke masa lalu. Aku ingin menemui kekasihku."

Bait menghela napas. "Aku ada di sini."

"Tidak! Dia sudah lama menghilang. Dia tidak akan pernah membiarkanku kesepian sendiri. Bahkan lelapku saja dia sudi temani, mendengarkan embus napasku di ujung telepon hanya untuk memastikan aku tertidur." Suara gadis itu mulai bergetar, ada lapisan kaca pada lensa matanya kali ini.

"Aku sibuk--"

“Kekasihku pun selalu sibuk," sela Wani. "Dia pekerja keras, tapi padaku ia pulang melepas penat, denganku ia meluruh lelah. Kami saling menceritakan tentang bagaimana hari berlalu.”

"Kita akan baik-baik saja. Percayalah."

"Apanya yang baik-baik saja?" Gadis itu memalingkan wajah, menghapus matanya yang basah. "Kita tidak sedang baik-baik saja. Katakan, apa aku telah melakukan kesalahan?”

“Tidak ada yang salah, sudahlah."

Wani bangkit dari duduknya, berdiri terisak di hadapan lelaki itu dengan merapatkan kedua tangannya. "Bawa aku ke masa lalu, bawa aku kembali ke masa itu. Aku mohon, aku rindu kekasihku, aku hanya rindu."

"Sudahlah jangan seperti anak kecil."

"Aku sadar, banyak hal yang tidak aku miliki. Kekurangan dan kelemahan yang lekat dengan diriku ini, tapi mohon jangan perlakukan aku begini." Tak terbendung lagi, air matanya tumpah. "Kamu tidak pernah membantuku memahamimu. Aku rindu kita yang dulu, saling meminta dan memberi maaf tak pandang masa, saling membuka hati, bertukar isi kepala.”

Lelaki itu bergeming.

“Cinta tidak selesai hanya sampai kau menyatakannya. Aku sudah hidup di dalam ruang yang kamu buatkan, lalu kenapa kini aku merasa sendiri di sana. Kamu teramat dingin, lebih gigil dari pucuk-pucuk di pagi hari. Apa yang salah dengan kita? Bantu aku menjawabnya ... jika kau masih ada di sana." Beranjak Wani dari tempat itu, setidaknya lega hatinya telah tertumpahkan bersama deraian yang kian deras menemani langkah.

"Sayang ...," panggil Bait.

Wani menghentikan langkah.

"Maafkan aku,” lirih Bait.

"Sesekali kunjungilah ingatanmu tentang kita. Bagaimana dulu saling berusaha membuat satu sama lain percaya lagi cinta, dan bahwa kita dan rasa itu nyata. Namun, jika ... sudah tidak ada lagi, sudahi aku dengan jantan seperti saat kamu memintaku menemani hidupmu. Jangan jadi pecundang dengan membiarkanku menerka-nerka keadaan," ungkap Wani dengan tanpa berbalik arah.

Melangkah mendekat, Bait mendekap gadis itu dari belakang.

Luluh, Wani membalikkan tubuh, memeluk erat dan membasahi bahu Bait dengan air matanya yang hangat. "Beritahu, apa yang hati kecilmu mau. Aku pun ingin selalu menjadi yang paling memahamimu. Jika bersamaku tidak membahagiakanmu, jujur pada hatimu, juga padaku. Jangan biarkan aku berjuang sendiri, aku membutuhkanmu di sini,” bisiknya.

Cinta, tidak pernah menjamin bisa membuat hidupmu selalu berjalan indah. Namun, terkadang justru pahit juga asamnya hidup akan terasa indah sebab adanya cinta. Kita yang membukakan pintu saat ada yang mengetuknya. Hanya bisa memegang kata, sungguh-sungguh jawabnya saat kita bertanya ia datang untuk apa.


Cirebon, 20 Juli 2019.

SIAPA IBU KITA, NAK?




"Nina bobo, oh Nina bobo ... kalau tidak bobo ...." Nyanyian kuhentikan. Damai wajah bocah kecil itu pulas tertidur berbantalkan lenganku yang kekar.

"Bapak, sayang Nina," bisikku.

Enam tahun sudah usianya kini. Gadis kecilku sudah bisa melakukan begitu banyak hal sendiri. Rasanya baru kemarin kutimang-timang ia dengan kedua tangan. Mengganti popoknya, memastikan susu yang akan diminumnya bersuhu pas, tidak dingin, tidak juga terlalu panas.

Dalam usianya kini, semakin pintar ia bertanya tentang banyak hal. Tentang bagaimana cara burung terbang, tentang ke mana perginya matahari saat malam. Termasuk pertanyaan yang selalu bisa membuat lidahku kelu. Bukan sebab tak tahu jawabannya, tetapi karena aku tak punya nyali untuk menjawab.

"Pak, ibu Nina di mana? Kata teman-teman Nina nggak punya Ibu, ya?" Polos wajahnya bertanya.

Kuangkat tubuh mungilnya ke atas pangkuan. "Setiap orang, itu lahir dari seorang ibu, Nak. Jadi nggak ada yang nggak punya ibu."

"Ibu Nina di mana, Pak?"

"Kan udah ada Bapak. Bapak juga bisa jadi ibu."

"Ih, Bapak. Ibunya teman Nina itu pakai kerudung. Bapak, nggak pakai kerudung," protesnya.

"Eh, Bapak juga bisa tahu. Begini, ‘kan?” Kukerudungkan kain panjang yang biasa dipakai untuk menggendongnya dulu. “Ih, cantikan juga Bapak!"

Nina tertawa. Ah, tawa renyah itu adalah semangat hidupku.

Aku tak akan pernah lupa saat bibir mungilnya pertama kali berucap "Papa" dengan terbata-bata. Sampai pada akhirnya ia mampu memanggilku bapak dengan sempurna. Rasanya seperti seluruh dunia berada di genggamanku saat itu.

"Hah, anakku nyebut aku bapak. Kalian semuanya dengar? Dia udah bisa memanggilku bapak!" sorakku pada seluruh tetangga. Mereka pun turut gembira.

Apa semua orang tua akan merasakan hal yang sama? Hidupku berubah, hadirnya bak semburat fajar dalam gelap dan gigilnya waktu subuh. Segala sesuatu menjadi lebih berarti, seluruh hidupku memiliki satu tujuan yang pasti.

Belum banyak hal mampu kupersembahkan untuk bidadari kecil itu. Sekadar boneka yang ia mau saja, lama aku harus menyisihkan upahku sebagai buruh bangunan, mengumpulkan recehan sisa kami makan.
Sungguh seluruh lelahku luruh, saat tiba di rumah senyum manisnya yang menyambut.

"Bapak pulang! Bapak pulang! Bapak pulang!" Ia berlari sambil terus memanggil-manggil namaku. Nina merentangkan tangan, pertanda wajib atasku segera menggendongnya. Kalau tidak, tuan putriku akan merajuk.

"Ibu ...," gumamnya di dalam lelap.

Hatiku perih bukan kepalang. Betapa aku menyadari tidak akan pernah bisa hadir sebagai ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Kerinduan yang luar biasa memenuhi benaknya, pasti.

Apa yang bisa kukatakan padanya. Aku tak ingin Nina berhenti memanggilku bapak, jika ia tahu yang sebenarnya bahwa dirinya bukanlah darah dagingku. Aku pun tak memiliki seorang istri yang bisa ia anggap sebagai ibu. Satu-satunya wanita yang pernah kucintai, pada akhirnya memilih untuk pergi saat menyadari dia punya pilihan untuk hidup lebih baik.

Bagaimana aku bisa menceritakan seperti apa wajah ibunya. Haruskah kukatakan, pada malam itu aku menemukannya di dalam sebuah kardus. Lalu bagaimana jika selanjutnya anak pintar itu kembali bertanya, apa kardus itu adalah ibunya.

Jika memang begitu, maka kami memiliki ibu yang sama. Sebab kata mereka yang merawat dan membesarkanku dulu, aku pun ditemukan di dalam sebuah kardus, saat bahkan tali pusatku masih basah dan tubuh merahku berlumuran darah.

Seperti apa wajah ibu kita, Nak? Aku pun rindu. Tak pernah sekali pun aku merasakan hangat dekapnya, sentuh kasihnya, atau bahkan berisik omelannya.

Siapa ibu kita, Nak.



Cirebon, 20 Juli 2019.

Jumat, 19 Juli 2019

KEJUTAN HARI ULANG TAHUN



Oleh: Rine Nopianti


"Rindu tau!" rengek kekasihku di ujung telepon. Adalah hal yang tak biasa, lelaki kaku itu manja.

"Iya," jawabku singkat.

"Apa sih, masa cuma iya aja."

"Terus aku harus apa?" Aku berusaha menahan tawa. Geli juga melihat tingkahnya.

"Pulang," katanya lagi.

"Iya. Kan memang sudah waktuku untuk pulang."

Tak terasa sudah setahun kami terpisah jarak dan waktu. Tanggung jawab pekerjaan mengharuskan aku jauh dari orang-orang yang kukasihi. Mau bagaimana lagi, bukankah begini nasib pekerja. Tugas itu sudah rampung kulaksanakan. Sebuah tiket pelayaran besok pagi sudah kupesan. Lebih cepat dua hari dari rencana semula, aku ingin memberi kejutan pada mereka semua, orangtua dan kekasihku di sana. Ya, setengah terpaksa aku pulang lewat jalur laut. Terlalu tak sabar untuk pulang, sementara tiket penerbangan untuk hari itu sudah habis seluruhnya terjual.

Masanya tiba. Di ruang tunggu pelabuhan, aku tak bisa menahan senyum mengingat kecerobohan kekasihku. Beberapa saat lalu saat kami berkomunikasi lewat video call, ia yang sepertinya tengah mempersiapkan perayaan ulang tahunku, tak menyadari bahwa aku bisa melihat semua pernak-pernik untuk pesta kejutan itu lewat layar ponselku. Namun, aku tetap berpura tak tahu. Biar dia senang. Lihat saja siapa yang akan lebih terkejut, saat tiba-tiba saja aku pulang.

Setelah perjalanan laut yang panjang, akhirnya aku tiba di daratan. Aku tak merasa lelah sedikit pun, mungkin karena bahagia yang begitu membuncah di hati.

Tak ingin membuang waktu lagi, aku memutuskan untuk menuju kediaman kekasihku terlebih dulu. Toh, letak rumah kami memang tak terlalu jauh. Mengendap-ngendap aku di sekitar rumahnya. Tak ingin dia melihatku, rencana kejutanku akan berantakan seperti rencana kejutan yang ia siapkan.

Dari balik jendela rumahnya bisa kulihat wajah lelakiku. Entah apa yang sedang ia lakukan di dalam sana. Betapa bahagianya, rindu sekali aku padanya.

Beberapa saat kemudian dia terburu-buru keluar dari dalam rumah. Panik, aku segera menyembunyikan diri di balik tembok pagar. Penasaran, kucoba untuk mengikutinya dari belakang. Lelaki itu berjalan sangat cepat.

"Mau ke mana dia?" pikirku.

Ternyata ia menuju rumahku. Saat ia memasuki rumah, aku tetap mengintip dari balik jendela. Sedikit cemas, semoga tak terjadi apa pun dengan orang tuaku di rumah.

Dari balik kaca kulihat Ibu segera merangkul kekasihku, beliau tersedu. Entah apa yang mereka bicarakan. Kusapukan pandangan ke seluruh ruangan, tak kutemukan Ayah di sana. Semakin tak tenang, kuputuskan untuk memasuki rumah untuk mencari tahu sesungguhnya apa yang terjadi di sana.

"Ada apa sih, Bu?" tanyaku, berdiri di belakang mereka yang sama-sama tengah bercucuran air mata.

"Bu, Mas, ada apa?" tanyaku lagi. Mereka tetap tak menjawab.

Aku mulai kesal. "Kok nggak ada yang jawab aku.”

Kucoba meraih tangan Ibu, tetapi yang terjadi malah membuatku tak mengerti. Aku tak bisa menyentuh mereka, tubuhku menembus begitu saja melewati apa pun yang ada di sekitarku.

"Ya Tuhan! Aku kenapa? Bu, Mas, aku kenapa?” Aku semakin takut, dan mereka tetap tak menghiraukanku.

“Ibu, Mas, lihat aku. Ini aku …." Berurai air mata aku terus berteriak di dekat telinga mereka.

"Saya juga tidak tahu, Bu. Saya tidak tahu kalau Risa pulang hari ini, menumpang di kapal yang tenggelam itu,” ucap kekasihku.

Aku tersentak. Ya, sekarang aku ingat. Di dalam kapal itu tiba-tiba saja keadaan menjadi tak terkendali. Semua orang panic, berteriak, berebut pelampung saat kapal oleng dan mulai tenggelam. Aku menangis sejadi-jadinya sambil mendekap erat jaket pelampung yang melekat di badan. Aku tak bisa berenang.
Dalam sekejap waktu seluruh badan kapal terbalik di telan ombak laut yang ganas. Ratusan orang tenggelam, berteriak meminta pertolongan. Aku berhasil terangkat ke permukaan berkat pelampung yang kukenakan, tetapi tiba-tiba saja seseorang merebut paksa benda itu dari tubuhku. Sekuatnya aku berusaha meraih apa pun untuk bisa kembali ke permukaan. Hingga habis tenaga, air laut memenuhi rongga paru-paru yang sudah tak terisi udara.

“Nggak mungkin. Mas tolong aku, Ibu aku masih di sini tolong aku,” jeritku, tetapi mereka tetap tak mendengar.

Malam kian larut. Kekasihku pulang kembali menuju rumahnya, Ibu sudah tertidur kelelahan, sementara Ayah belum pulang dari pelabuhan menunggu jasadku ditemukan. Aku mengikuti lelaki itu dengan langkah gontai. Bahkan aku tak yakin, entah kakiku masih melangkah atau melayang.

Di tengah suasana rumah yang sunyi, kekasihku berdiri mematung. Lama ia memandangi seikat bunga mawar, balon warna-warni, dan boneka hati yang sepertinya dipersiapkan untukku. Lalu dari saku celananya, ia meraih sebuah kotak kecil berbentuk hati yang ternyata berisikan cincin bermata jeli. Indah sekali. Kemudian lunglai tubuhnya jatuh berlutu di lantai saat jam tepat menunjuk waktu tengah malam. Sudah terhitung hari lahirku sekarang.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Kenapa kamu nggak kabari Mas, bahwa kamu pulang hari ini. Kenapa kamu pergi, kenapa meninggalkan aku begini. Mas mau melamar kamu di hari ulang tahunmu, Risa. Mas mau menikahimu," lirih suaranya mendekap erat gambarku dalam bingkai.

Tuhan, harus seperti inikah aku menikmati pesta kejutan hari ulang tahunku.



Cirebon, 19 Juli 2019.

SURAT CINTA AYAH





Oleh: Rine Nopianti.

"Heh, keriting ... rambut singa, ble ... ble ... bleh."
Aku tak yakin kita punya kenangan masa kanak-kanak yang indah, Bu. Setiap hari, bertemu denganku mungkin jadi bencana bagimu. Sering kau menangis karena ulah lidah dan tangan jahilku ini. Entah, aku sangat suka menggodamu.
Rambut keritingmu yang tampak mengembang seperti surai singa saat itu selalu jadi senjataku, untuk mengganggumu. Lalu berlari kau pulang, meraung-raung, mengadu pada bapakmu. Untungnya beliau tak menolak lamaranku. Manakala kita sama-sama tumbuh dewasa, musuh bebuyutan masa kanak-kanak itu jatuh berlutut pada cinta. Berkibar bendera putih di dadaku, kita meninggikan janur kuning di depan rumahmu.
"Kamu yakin? Dari kecil kita main sama-sama, tumbuh dewasa bersama. Sekarang kamu juga ingin kita menua bersama? Bosen aku, Mas," kelakarmu saat kuajak kau ke penghulu.
Pada akhirnya kita menikah. Kau berhasil memaksaku. Baiklah, salah, aku yang memaksamu. Semoga kau tak pernah terpaksa. Karena menikahimu aku tak mendapatkan seorang istri. Ya, bukan seorang istri semata. Namun, sekaligus seorang kawan, seorang adik, bahkan terkadang kau juga jadi teman bertengkar. Bukankah seperti itu cinta? Selalu ingin menjadi segalanya.
Aku harus berterimakasih padamu atas tahun-tahun yang luar biasa. Kita adalah tim yang sempurna, meski kadang kita kerap sembunyikan getir di balik pintu rumah kita yang sederhana. Hidup benar-benar ingin kita belajar ya, Bu. Namun, kau tetap di sini, kasihmu tak pernah menyerah padaku. Malah aku yang pergi, meninggalkanmu lebih dulu. Dengan angkuh kau berkata, kau akan mampu meski harus tanpaku lagi. Padahal di belakangku kau menangis tersedu. Bengkak matamu ditinju derasnya air mata. Kita sudah berusaha menepati janji untuk tua bersama, tetapi pada akhirnya kita harus menyerah. Tuhan yang Maha Berkuasa.
Ini adalah tahun ke sepuluh sejak kepergianku. Itu artinya, ini pun surat ke sepuluh yang kau baca. Bu, aku yakin rambut-rambut putih mulai tumbuh di kepalamu. Akan tetapi, aku juga percaya kau tetap cantik dengan keriput halus di wajahmu itu. Dengar, Bu. Aku rindu. Entah ada di mana aku saat kaubaca surat ini. Di surga ataukah neraka pada akhirnya aku abadi. Sejak aku bernama mayat, kita terpisahkan maut yang lebih dulu datang mencintaiku. Meski bebas dari sakit yang kuderita, setelah nyawaku tiada aku dan kau tersiksa oleh pedih rindu yang sama. Setidaknya, aku telah sempat mencicipi kopi yang kausuguhkan di setiap pagiku di dunia. Menyadari maut bisa saja merenggutku darimu sewaktu-waktu, maka pada malam itu kutuliskan lembar-lembar surat untuk kaubaca dari waktu ke waktu. Mengenangku, meredakan rindu. Sesungguhnya aku tak rela jika kau melupakan aku.
Bu, sampai bertemu. Kau akan mengembuskan napas terakhirmu sebagai wanita tua, di atas tempat tidurmu yang hangat. Apa aku sudah benar menirukan tokoh Jack di film favoritmu Titanic itu?





Bapak.

***

Kuhela napas panjang. "Selesai, Bu."

"Bapak kamu itu, Nak. Ah, dia itu ...," isak Ibu. Kuhapus air mata yang masih sama derasnya, seperti hari di mana Ayah meninggalkan kami untuk selamanya.

Ayah benar, pada akhirnya kami harus menyerah pada garis Tuhan. Kami sudah berusaha, Ayah pun sudah berjuang melawan sakitnya.

"Ibu rindu Ayah, ya? Ibu ingat tidak? Dulu waktu kami masih kecil, Ibu selalu bilang jika kami rindu Ayah, maka ...." Sengaja tak kulanjutkan kalimatku, agar Ibu yang melengkapinya.

"Maka pejamkan mata,” ucapnya. Kami semua menutup mata. “Lalu berdoa untuk Ayah, semoga di sana disayang oleh Tuhan. Katakan pada Tuhan, kami rindu Ayah."

"Kami rindu Ayah," timpal Adikku.

Kemudian saling berpelukanlah kami bertiga, dalam satu isak tangis dan sesak rindu yang sama gebunya. Kami senantiasa membalas surat-surat cinta yang Ayah tuliskan dengan untaian doa.


Cirebon, 19 Juli 2019.

Senin, 03 Juni 2019

JURNAL NOKTURNAL



Seandainya kita tak punya banyak waktu untuk tertawa.

Ini adalah senyumku yang paripurna. Ingatkah malam-malam sepi yang menggelitik geli? Atau lelucon yang kerap mengundang jijik, hampir tak pernah basi.

Kau pasrah tertawa dan aku selalu menang dalam peperangan kata kita. Tanpa senjata.

Masa yang terlewatkan. Kemudian, entah bagaimana tetiba aku terlempar kembali padanya. Terdiam. Setelah kemenangan telakku pada setiap adu argument yang menjengkelkan itu, di titik ini aku menemui kalah. Sekalah-kalahnya seseorang yang pernah kalah.

Ada titik air serupa embun jatuh di sudut mataku. Adalah hal yang paling menyebalkan saat aku mulai menyadari sebagian dari diriku telah tercuri. Lancang sekali! Aku yang lemah, atau ... memang kaulah jelma rumah.

Tiba-tiba saja kau tersenyum di ujung jalan, sendiri, dan seketika aku hanya ingin berlari. Menjauh. Sebagai seorang yang sekarat menepis hasrat. Aku membutuhkanmu. Betapa jengah mengakui itu.

Katakan, candu apa yang diam-diam kau tuang? Bagaimana bisa, seketika kita adalah dua sunyi yang saling menemukan. Sementara, aku merasa kau akan hilang. Hingga tiba masa tak ada lagi pembicaraan kita yang menyenangkan.

Aku ragu, bahkan saat itu dirimu masih dalam sudi sekadar menyebutku teman. Bukankah sebaik-baiknya jika debar ini kupadamkan?

Maka, seandainya kita tak punya banyak waktu untuk tertawa.

Ini malam aku hanya ingin menitip rasa terima kasih saja. Kau sudah datang, singgah di hidupku yang membosankan. Walau entah dengan apa tujuan.



Memori, 03 Juni 2019.

Rine Nopianti.

Selasa, 23 April 2019

POLA (Sejarah yang Berulang)



Yang pertama terlintas di benakku, saat menghirup udara sejuk khas pegunungan ini adalah wajah seorang lelaki, yang pernah berkata bahwa kotanya diciptakan Tuhan untuk menjadi miniatur surga. Berebut dengan berapa pasang paru-paru pun kau tak akan kekurangan oksigen. Sebab rimbun pepohonan hijau senantiasa menyediakannya. Melimpah ruah dan cuma-cuma, saat kota lain berlomba menanam beton di atas tulang belulang manusia. Dari hulu Ciremai sungai-sungai mengalir jernih, kilaunya bak manik mata bidadari. Juga kerlingan biji-biji padi yang menguning di hamparan sawah petani, akan selalu  membuatmu rindu ingin kembali.

Aku tak percaya akan kembali ke sini. Sejenak rasanya sama seperti sedang menggali kuburanku sendiri. Ya, aku pernah terkubur hidup-hidup di kota ini. Saat cinta tak berkawan baik dengan prahara dan aku harus menua tanpanya. Bahkan rindu bertalu-talu pun tak pernah memberiku nyali untuk sekadar mengintip masa lalu. Hingga pada suatu hari, santun sapa seorang gadis jelita lewat layanan pesan Facebook, mengundangku untuk bertandang ke kota yang pernah dengan sumpah serapah kutinggalkan itu. Beberapa hal darinya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki yang pernah berkata bahwa kotanya adalah miniatur surga dari Tuhan. Mungkin sebab dari separuh dirinyalah sang dara tercipta.

Gadis itu bernama Ayana, putri dari Arya. Seseorang dari masa lalu. Aku tak tahu pasti, dari mana ia mengetahui sejarah lamaku dengan sang ayah. Namun, tentu saja aku senang bisa mengenalnya.

Ayana bercerita betapa sudah lama ia mencari. Walau hanya berbekal nama, foto lama dan rasa yakin bahwa ia bisa menemukanku di dunia maya. Media tak bersekat yang bisa membuat siapa pun terhubung satu sama lain. Terberkatilah teknologi, jika saja wanita tua ini tak pernah tergoda untuk membuat akun jejaring sosial, mungkin sampai kapan pun kami tak akan saling mengenal.

Dalam obrolan kami yang panjang, gadis itu telah membuatku berjanji untuk menemuinya di suatu tempat dan di sinilah aku sekarang. Gedung Perundingan Linggarjati. Bangunan yang sekilas tampak seperti rumah tinggal kuno biasa, tetapi begitu kaya akan nilai sejarah. Sekeping kisahku pun abadi bersamanya. Pelesiranku kali ini rasanya seperti sebuah penziarahan.
Beberapa langkah melewati pintu masuk, seorang perempuan penjual tiket menyambutku dengan senyum ramah. Dua ribu rupiah, nominal yang teramat murah untuk sebuah perjalanan berharga.

Tak banyak yang berubah. Bingkai-bingkai kaca masih memeluk erat potret usang dari peristiwa-peristiwa penting yang pernah berlangsung di tempat itu, pada masa silam. Rapi menempel di dinding bercat putih tulang. Lampu gantung klasik bercabang lima yang menjadi sumber penerangan, beberapa perabot keramik yang terlindung apik lemari kaca, juga aneka furnitur berbahan kayu jati yang masih terlihat kokoh tak termakan zaman. Seketika mampu memberi kesan seakan kita hidup pada hari yang sama saat bangunan itu masih digunakan.

Melangkah pelan kakiku di antara dua meja panjang dengan masing-masing empat kursi kayu saling berhadapan, juga ditutupi taplak hijau tua khas pengadilan. Tempat yang dulunya menjadi titik perundingan yang alot dan menegangkan.

Lalu dari lorong kamar tidur delegasi, mata ini mendapati wajah yang amat kukenal sedang berdiri di tengah kerumunan beberapa orang. Ia melihat ke arahku dengan sorot mata yang entah. Telanjur sudah ditemukan, perjumpaan kami tak mungkin bisa dihindari lagi. Aku hanya berharap bahwa itu bukan tatapan benci atau dendam yang tersisa dari masa silam.

Setiap langkah ia semakin mendekat, rasanya seperti jantungku akan loncat dari tulang iga yang memagarinya. Sesaat kami hanya saling berbalas senyum tanpa sanggup berkata apa pun. Situasi yang rasanya jauh lebih canggung dari pertemuan pertama kami dua puluh tahun lalu.

“Ke mana saja kamu, Wi? Setelah pulang ke rumah orang tuamu, kamu lupakan sama sekali kota ini,” katanya, memecah kebekuan di antara kami.

“Jakarta telah menawanku untuk tetap berada di sana. Bersama anak-anak didikku di sebuah taman kanak-kanak.”

“Apa betahnya tinggal di kota yang tak pernah tidur itu?”

“Setidaknya aku tak harus tidur untuk memimpikan kamu,” celotehku. Ujung bibir lelaki itu menyungging.

“Bagaimana dengan dirimu?”

“Seperti yang kamu lihat. Aku masih di sini, dengan profesiku yang dulu. Dinas Pariwisata masih mempercayakanku untuk menjadi penyambung lidah sejarah.”

Dulu lewat tangan lelaki itu bangunan tua ini pernah menghidupiku selama bertahun-tahun. Diorama yang terkurung kaca bening adalah saksi kisah usang tentang pengunjung yang jatuh cinta pada pemandu wisatanya. Museum itu masih kokoh berdiri, walau kami telah pincang bahkan tak lagi berjalan sama sekali.
“Kamu ke sini bersama … suamimu?” tanya Arya, sambil menemaniku menyusuri tiap sudut museum sebagaimana memang tugasnya. Seperti masa lalu.

“Aku sendirian.”

“Oh iya, tentu saja. Suamimu pasti sedang sibuk bekerja.”

“Aku … belum menikah lagi.”

Arya tampak terkejut. “Benarkah? Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya belum butuh pemandu yang lain,” selorohku.

Lelaki itu kembali tersenyum dan aku tak ingin terlalu lama melihatnya. Sebab senyuman itu yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.

“Pada tahun seribu sembilan ratus delapan belas silam, di sini Tuhan mengutus ibu Jasitem meletakkan batu pertama dalam wujud gubuk sederhananya. Hingga lalu bangunan ini beberapa kali berganti wajah dan abadi dikenang dunia bersama namanya.” Lelaki itu memberi jeda. “Kita tetap bisa menikmati sejarah, tanpa harus kembali merasakan pahit getirnya.”

Raut wajah Arya berubah. Binar matanya seolah mengajakku untuk mengingat pertengkaran yang dulu seolah tak pernah menemui jemu. Segala apa pun pada akhirnya menggiring kami pada syak wasangka dan adu mulut yang begitu membosankan. Juga malam-malam yang dinginnya seakan merobek kulit dan menusuk tulang, tak ada dekap saling menghangatkan seperti gelora awal pernikahan. Kami saling memunggungi, memendam bara yang hanya diketahui oleh sendiri-sendiri. Sejenak aku memejamkan mata, menghalau segala kenangan itu berkelebatan di sana. Aku tak punya banyak energi untuk mengingat masa itu kembali.

“Lihatlah, Wi!” Arya menunjuk cermin besar yang terletak pada sudut ruang makan yang baru saja kami masuki.

Aku tersenyum memandang bayangan kami pada pantulan benda bening itu. “Ada yang salah dengan cerminnya. Bagaimana bisa aku tampak tua di sana.”

“Dua orang tua dalam cermin itu pernah begitu menikmati cinta yang menggebu, tetapi harus kalah dalam ujiannya yang hanya sebutir debu,” lirih Arya.

“Aku tak bisa memberimu keturunan. Itu bukanlah ujian yang hanya sebutir debu.”

Dia menghela napas. “Aku yang terlalu sempit memaknai arti bahagia, dengan harus adanya anak dalam pernikahan kita. Mungkin sebab dulu kita masih terlalu muda.”

Tanpa berkata apa pun, aku berlalu dari ruangan yang mendadak terasa semakin dingin itu. Kami sedang mengenang suatu masa, yang mana aku dan dia tak lagi hidup di dalamnya dan itu tak terlalu menyenangkan bagiku.
Beranjak ke luar area gedung, di sana membentang luas padang rumput yang indah terawat. Kami disambut beberapa pohon bunga kertas aneka warna. Kemudian berjalan menuruni undakan anak tangga yang terbuat dari batu pipih yang tersusun rapi. Kerosak pohon pinus yang diterpa angin seolah saling berbisik, mungkin mereka mengingat kami.

Arya membawaku ke salah satu monumen ikonis lain di tempat itu.

“Batu hitam dengan ukiran lima pilar bangsa. Kelima pilar tersebut antara lain, petani, pemuka agama, tentara, pemuda, dan … kamu,” jelas Arya.

Dahiku mengerut. “Aku?”

Arya tertawa kecil. “Maksudku wanita … mereka saling berpegangan tangan, sebagai wujud kekuatan utama bangsa Indonesia.”

Sebenarnya ingatanku tentang tempat itu dan sejarah besar yang pernah terjadi di sana masih begitu tajam. Namun, aku lebih senang mendengarnya dari mulut guide bertubuh tegap itu. Ia masih tetap terlihat gagah walau uban mulai tumbuh subur di rambut juga janggut tipisnya.

“Ceritakan tentang dirimu. Kita sudah lama tak bertemu,” kataku.

“Cerita mana yang mau kamu dengar?”

“Yang mana saja.”

Kami berjalan lagi menyusuri jalan setapak yang membelah taman, menuju kembali ke arah museum.
“Dulu … kita menikah usia dua puluh lima, kemudian berpisah diwarnai aneka drama lima tahun berikutnya.” Arya mendengkus. “Dua tahun setelahnya aku menikahi seorang wanita. Dia kawan lama. Lalu tahun berikutnya Tuhan menganugerahi kami seorang putri. Beranjak remaja ia kini. Sebenarnya hari ini dia libur sekolah dan tak biasanya memaksa ikut ayahnya bekerja.”

Haruskah kukatakan bahwa untuk putrinyalah aku datang. Sepertinya Arya tidak mengetahui komunikasi yang terjalin di antara kami dan entah di mana gadis itu kini.

“Aku mencintai wanita yang telah memperantarainya lahir, tetapi ….” Arya memberi jeda, “berdosakah jika aku mengakui bahwa tetap ada lubang yang tak terisi.”

“Mungkin kamu hanya merasa bersalah … pada keadaan,” ucapku.

“Atau rindu dengan lain nama. Bisa jadi bukan?”

Eum, di mana wanita itu? Maksudku istrimu. Boleh aku bertemu?” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan. Walau bagaimanapun aku harus tetap pada kenyataan, bahwa kami tak lagi seperti yang dulu.
“Tidak bisa,” jawabnya singkat.

“Kenapa? Kamu takut dia marah jika tahu … aku adalah mantan istrimu?”

“Bukan. Sebab syarat untuk menemuinya terlalu berat.”

“Syarat?” Kedua alisku bertaut. “Syarat apa?”

“Kamu harus melepaskan nyawa, jika ingin bertemu dengannya,” ungkap Arya sambil berlalu.
Aku tertegun, berusaha mencerna perkataan lelaki itu. “Maksudmu?”

“Dia sudah mangkat meninggalkanku saat putrinya berusia tujuh minggu. Tuhan jelas lebih mencintainya daripada aku.”

“Maaf, aku … tidak tahu,” Lidahku kelu. Ayana tak pernah menceritakan hal itu padaku.
“Tak apa,” jawab Arya.

Kami berdiri di tepi kolam kecil yang terletak di belakang museum. Memandangi ikan koi yang berenang bebas di air yang sedikit keruh, diiringi gemiricik pancuran air yang terdengar syahdu.

“Dulu, Lord Killearn dari Inggris menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Saat Sutan Sjahrir dan yang lainnya memperjuangkan pengakuan de facto, atas kemerdekaan negara kita,” ungkap Arya.

“Sekarang Ayana yang akan menjadi mediator, dalam perundingan Linggarjati antara Ayah dan Ibu Dewi,” kata seorang gadis yang muncul dari balik pintu kaca. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja sedang menari bersama angin. Ia tersenyum dengan mata yang basah. Entah kenapa tiba-tiba rasanya aku sangat sekarat. Dadaku sesak dan hanya akan luruh dengan mendekap erat tubuhnya.

Arya tersenyum. “Itu Ayana, putri kami. Dia cantik seperti ibunya, tetapi mata dan senyum itu ia dapat dariku.”

Aku tidak akan protes, sebab hanya dari foto yang ia kirim pun aku sudah tahu. Gadis itu memang separuh dari diri Arya.

“Ayana minta maaf sudah lancang memaksa Ibu datang ke Kuningan,” ucapnya dengan derai air mata. “Ayah sangat marah saat Ayana menemukan banyak surat cinta yang Ayah tulis. Tapi, Ayana tidak cemburu walaupun Ayah menulis itu bukan untuk ibu.”

Ayana menghampiri kami. “Ayah selalu bilang mendiang ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Lalu bagaimana dengan kita di sini, Yah? Ayah dan Ayana juga harus bahagia bukan? Ayana ingin punya ibu,” lirih gadis itu.

Arya mengusap lembut rambut legam putri semata wayangnya. Pemandangan yang kian meruntuhkanku. Aku mungkin wanita yang tidak Tuhan gariskan melahirkan keturunan. Namun, percayalah batin dan rasaku tetap sama, selayaknya seorang ibu.

“Bertahun-tahun berlalu, aku tidak pernah punya keberanian untuk mencarimu, Wi. Ternyata Ayana yang menemukanmu kali ini,” kata Arya, suaranya bergetar.

“Bukan Ayah yang akan melamar Ibu Dewi kali ini. Tapi Ayana ….” Gadis itu bersimpuh berlutut menyodorkan beberapa tangkai bunga kertas, yang mungkin dipetiknya di halaman museum.

Aku melirik ke arah Arya yang tengah menyeka lelehan air di matanya.

“Aku tidak terlibat dalam rencana Ayana. Tapi percayalah aku akan mengatakan hal yang sama,” tuturnya.
“Bu,” panggil Ayana. “Maukah Bu Dewi menikah lagi dengan Ayah dan menjadi ibu Ayana.”

Aku meraih tubuhnya, menangkup wajah Ayana sementara wajahku sendiri telah dibanjiri air mata. Tatapan kami bertemu. Tak bisa lagi mengelak, demi Tuhan … aku jatuh cinta. Lebih dari saat dulu pertama kali aku jatuh hati pada ayahnya.

Kudekap gadis itu penuh haru. “Ibu mau. Iya, Ibu mau, Nak.”

Sejarah bisa saja terulang. Dulu, di gedung perundingan itu hanya sekali aku dan Arya bertemu. Lalu berlanjut pada komunikasi yang tanpa sadar mengikat hati, membulatkan tekad untuk mengikat janji suci. Lalu berpisah atas nama kebaikan. Sekarang, di tempat yang sama kami kembali bertemu. Dalam perundingan Linggarjati yang mempersatukan kembali cinta kami.

Selesai.