iklan banner

Jumat, 19 Juli 2019

KEJUTAN HARI ULANG TAHUN



Oleh: Rine Nopianti


"Rindu tau!" rengek kekasihku di ujung telepon. Adalah hal yang tak biasa, lelaki kaku itu manja.

"Iya," jawabku singkat.

"Apa sih, masa cuma iya aja."

"Terus aku harus apa?" Aku berusaha menahan tawa. Geli juga melihat tingkahnya.

"Pulang," katanya lagi.

"Iya. Kan memang sudah waktuku untuk pulang."

Tak terasa sudah setahun kami terpisah jarak dan waktu. Tanggung jawab pekerjaan mengharuskan aku jauh dari orang-orang yang kukasihi. Mau bagaimana lagi, bukankah begini nasib pekerja. Tugas itu sudah rampung kulaksanakan. Sebuah tiket pelayaran besok pagi sudah kupesan. Lebih cepat dua hari dari rencana semula, aku ingin memberi kejutan pada mereka semua, orangtua dan kekasihku di sana. Ya, setengah terpaksa aku pulang lewat jalur laut. Terlalu tak sabar untuk pulang, sementara tiket penerbangan untuk hari itu sudah habis seluruhnya terjual.

Masanya tiba. Di ruang tunggu pelabuhan, aku tak bisa menahan senyum mengingat kecerobohan kekasihku. Beberapa saat lalu saat kami berkomunikasi lewat video call, ia yang sepertinya tengah mempersiapkan perayaan ulang tahunku, tak menyadari bahwa aku bisa melihat semua pernak-pernik untuk pesta kejutan itu lewat layar ponselku. Namun, aku tetap berpura tak tahu. Biar dia senang. Lihat saja siapa yang akan lebih terkejut, saat tiba-tiba saja aku pulang.

Setelah perjalanan laut yang panjang, akhirnya aku tiba di daratan. Aku tak merasa lelah sedikit pun, mungkin karena bahagia yang begitu membuncah di hati.

Tak ingin membuang waktu lagi, aku memutuskan untuk menuju kediaman kekasihku terlebih dulu. Toh, letak rumah kami memang tak terlalu jauh. Mengendap-ngendap aku di sekitar rumahnya. Tak ingin dia melihatku, rencana kejutanku akan berantakan seperti rencana kejutan yang ia siapkan.

Dari balik jendela rumahnya bisa kulihat wajah lelakiku. Entah apa yang sedang ia lakukan di dalam sana. Betapa bahagianya, rindu sekali aku padanya.

Beberapa saat kemudian dia terburu-buru keluar dari dalam rumah. Panik, aku segera menyembunyikan diri di balik tembok pagar. Penasaran, kucoba untuk mengikutinya dari belakang. Lelaki itu berjalan sangat cepat.

"Mau ke mana dia?" pikirku.

Ternyata ia menuju rumahku. Saat ia memasuki rumah, aku tetap mengintip dari balik jendela. Sedikit cemas, semoga tak terjadi apa pun dengan orang tuaku di rumah.

Dari balik kaca kulihat Ibu segera merangkul kekasihku, beliau tersedu. Entah apa yang mereka bicarakan. Kusapukan pandangan ke seluruh ruangan, tak kutemukan Ayah di sana. Semakin tak tenang, kuputuskan untuk memasuki rumah untuk mencari tahu sesungguhnya apa yang terjadi di sana.

"Ada apa sih, Bu?" tanyaku, berdiri di belakang mereka yang sama-sama tengah bercucuran air mata.

"Bu, Mas, ada apa?" tanyaku lagi. Mereka tetap tak menjawab.

Aku mulai kesal. "Kok nggak ada yang jawab aku.”

Kucoba meraih tangan Ibu, tetapi yang terjadi malah membuatku tak mengerti. Aku tak bisa menyentuh mereka, tubuhku menembus begitu saja melewati apa pun yang ada di sekitarku.

"Ya Tuhan! Aku kenapa? Bu, Mas, aku kenapa?” Aku semakin takut, dan mereka tetap tak menghiraukanku.

“Ibu, Mas, lihat aku. Ini aku …." Berurai air mata aku terus berteriak di dekat telinga mereka.

"Saya juga tidak tahu, Bu. Saya tidak tahu kalau Risa pulang hari ini, menumpang di kapal yang tenggelam itu,” ucap kekasihku.

Aku tersentak. Ya, sekarang aku ingat. Di dalam kapal itu tiba-tiba saja keadaan menjadi tak terkendali. Semua orang panic, berteriak, berebut pelampung saat kapal oleng dan mulai tenggelam. Aku menangis sejadi-jadinya sambil mendekap erat jaket pelampung yang melekat di badan. Aku tak bisa berenang.
Dalam sekejap waktu seluruh badan kapal terbalik di telan ombak laut yang ganas. Ratusan orang tenggelam, berteriak meminta pertolongan. Aku berhasil terangkat ke permukaan berkat pelampung yang kukenakan, tetapi tiba-tiba saja seseorang merebut paksa benda itu dari tubuhku. Sekuatnya aku berusaha meraih apa pun untuk bisa kembali ke permukaan. Hingga habis tenaga, air laut memenuhi rongga paru-paru yang sudah tak terisi udara.

“Nggak mungkin. Mas tolong aku, Ibu aku masih di sini tolong aku,” jeritku, tetapi mereka tetap tak mendengar.

Malam kian larut. Kekasihku pulang kembali menuju rumahnya, Ibu sudah tertidur kelelahan, sementara Ayah belum pulang dari pelabuhan menunggu jasadku ditemukan. Aku mengikuti lelaki itu dengan langkah gontai. Bahkan aku tak yakin, entah kakiku masih melangkah atau melayang.

Di tengah suasana rumah yang sunyi, kekasihku berdiri mematung. Lama ia memandangi seikat bunga mawar, balon warna-warni, dan boneka hati yang sepertinya dipersiapkan untukku. Lalu dari saku celananya, ia meraih sebuah kotak kecil berbentuk hati yang ternyata berisikan cincin bermata jeli. Indah sekali. Kemudian lunglai tubuhnya jatuh berlutu di lantai saat jam tepat menunjuk waktu tengah malam. Sudah terhitung hari lahirku sekarang.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Kenapa kamu nggak kabari Mas, bahwa kamu pulang hari ini. Kenapa kamu pergi, kenapa meninggalkan aku begini. Mas mau melamar kamu di hari ulang tahunmu, Risa. Mas mau menikahimu," lirih suaranya mendekap erat gambarku dalam bingkai.

Tuhan, harus seperti inikah aku menikmati pesta kejutan hari ulang tahunku.



Cirebon, 19 Juli 2019.


EmoticonEmoticon