Oleh: Rine Nopianti
"Rindu tau!" rengek kekasihku
di ujung telepon. Adalah hal yang tak biasa, lelaki kaku itu manja.
"Iya," jawabku singkat.
"Apa sih, masa cuma iya
aja."
"Terus aku harus apa?"
Aku berusaha menahan tawa. Geli juga melihat tingkahnya.
"Pulang," katanya lagi.
"Iya. Kan memang sudah
waktuku untuk pulang."
Tak terasa sudah setahun kami
terpisah jarak dan waktu. Tanggung jawab pekerjaan mengharuskan aku jauh dari
orang-orang yang kukasihi. Mau bagaimana lagi, bukankah begini nasib pekerja. Tugas
itu sudah rampung kulaksanakan. Sebuah tiket pelayaran besok pagi sudah
kupesan. Lebih cepat dua hari dari rencana semula, aku ingin memberi kejutan
pada mereka semua, orangtua dan kekasihku di sana. Ya, setengah terpaksa aku
pulang lewat jalur laut. Terlalu tak sabar untuk pulang, sementara tiket
penerbangan untuk hari itu sudah habis seluruhnya terjual.
Masanya tiba. Di ruang tunggu
pelabuhan, aku tak bisa menahan senyum mengingat kecerobohan kekasihku. Beberapa
saat lalu saat kami berkomunikasi lewat video call, ia yang sepertinya tengah
mempersiapkan perayaan ulang tahunku, tak menyadari bahwa aku bisa melihat
semua pernak-pernik untuk pesta kejutan itu lewat layar ponselku. Namun, aku
tetap berpura tak tahu. Biar dia senang. Lihat saja siapa yang akan lebih
terkejut, saat tiba-tiba saja aku pulang.
Setelah perjalanan laut yang
panjang, akhirnya aku tiba di daratan. Aku tak merasa lelah sedikit pun,
mungkin karena bahagia yang begitu membuncah di hati.
Tak ingin membuang waktu lagi,
aku memutuskan untuk menuju kediaman kekasihku terlebih dulu. Toh, letak rumah kami memang tak terlalu
jauh. Mengendap-ngendap aku di sekitar rumahnya. Tak ingin dia melihatku, rencana
kejutanku akan berantakan seperti rencana kejutan yang ia siapkan.
Dari balik jendela rumahnya bisa
kulihat wajah lelakiku. Entah apa yang sedang ia lakukan di dalam sana. Betapa bahagianya,
rindu sekali aku padanya.
Beberapa saat kemudian dia
terburu-buru keluar dari dalam rumah. Panik, aku segera menyembunyikan diri di
balik tembok pagar. Penasaran, kucoba untuk mengikutinya dari belakang. Lelaki
itu berjalan sangat cepat.
"Mau ke mana dia?"
pikirku.
Ternyata ia menuju rumahku. Saat ia
memasuki rumah, aku tetap mengintip dari balik jendela. Sedikit cemas, semoga
tak terjadi apa pun dengan orang tuaku di rumah.
Dari balik kaca kulihat Ibu
segera merangkul kekasihku, beliau tersedu. Entah apa yang mereka bicarakan. Kusapukan
pandangan ke seluruh ruangan, tak kutemukan Ayah di sana. Semakin tak tenang,
kuputuskan untuk memasuki rumah untuk mencari tahu sesungguhnya apa yang
terjadi di sana.
"Ada apa sih, Bu?" tanyaku,
berdiri di belakang mereka yang sama-sama tengah bercucuran air mata.
"Bu, Mas, ada apa?"
tanyaku lagi. Mereka tetap tak menjawab.
Aku mulai kesal. "Kok nggak
ada yang jawab aku.”
Kucoba meraih tangan Ibu, tetapi
yang terjadi malah membuatku tak mengerti. Aku tak bisa menyentuh mereka,
tubuhku menembus begitu saja melewati apa pun yang ada di sekitarku.
"Ya Tuhan! Aku kenapa? Bu,
Mas, aku kenapa?” Aku semakin takut, dan mereka tetap tak menghiraukanku.
“Ibu, Mas, lihat aku. Ini aku …."
Berurai air mata aku terus berteriak di dekat telinga mereka.
"Saya juga tidak tahu, Bu.
Saya tidak tahu kalau Risa pulang hari ini, menumpang di kapal yang tenggelam itu,”
ucap kekasihku.
Aku tersentak. Ya, sekarang aku
ingat. Di dalam kapal itu tiba-tiba saja keadaan menjadi tak terkendali. Semua
orang panic, berteriak, berebut pelampung saat kapal oleng dan mulai tenggelam.
Aku menangis sejadi-jadinya sambil mendekap erat jaket pelampung yang melekat
di badan. Aku tak bisa berenang.
Dalam sekejap waktu seluruh badan
kapal terbalik di telan ombak laut yang ganas. Ratusan orang tenggelam,
berteriak meminta pertolongan. Aku berhasil terangkat ke permukaan berkat
pelampung yang kukenakan, tetapi tiba-tiba saja seseorang merebut paksa benda
itu dari tubuhku. Sekuatnya aku berusaha meraih apa pun untuk bisa kembali ke permukaan.
Hingga habis tenaga, air laut memenuhi rongga paru-paru yang sudah tak terisi
udara.
“Nggak mungkin. Mas tolong aku,
Ibu aku masih di sini tolong aku,” jeritku, tetapi mereka tetap tak mendengar.
Malam kian larut. Kekasihku
pulang kembali menuju rumahnya, Ibu sudah tertidur kelelahan, sementara Ayah
belum pulang dari pelabuhan menunggu jasadku ditemukan. Aku mengikuti lelaki
itu dengan langkah gontai. Bahkan aku tak yakin, entah kakiku masih melangkah
atau melayang.
Di tengah suasana rumah yang sunyi,
kekasihku berdiri mematung. Lama ia memandangi seikat bunga mawar, balon
warna-warni, dan boneka hati yang sepertinya dipersiapkan untukku. Lalu dari
saku celananya, ia meraih sebuah kotak kecil berbentuk hati yang ternyata berisikan
cincin bermata jeli. Indah sekali. Kemudian lunglai tubuhnya jatuh berlutu di lantai
saat jam tepat menunjuk waktu tengah malam. Sudah terhitung hari lahirku
sekarang.
"Selamat ulang tahun,
Sayang. Kenapa kamu nggak kabari Mas, bahwa kamu pulang hari ini. Kenapa kamu
pergi, kenapa meninggalkan aku begini. Mas mau melamar kamu di hari ulang
tahunmu, Risa. Mas mau menikahimu," lirih suaranya mendekap erat gambarku
dalam bingkai.
Tuhan, harus seperti inikah aku menikmati
pesta kejutan hari ulang tahunku.
Cirebon, 19 Juli 2019.
Cirebon, 19 Juli 2019.
EmoticonEmoticon