iklan banner

Sabtu, 20 Juli 2019

SIAPA IBU KITA, NAK?




"Nina bobo, oh Nina bobo ... kalau tidak bobo ...." Nyanyian kuhentikan. Damai wajah bocah kecil itu pulas tertidur berbantalkan lenganku yang kekar.

"Bapak, sayang Nina," bisikku.

Enam tahun sudah usianya kini. Gadis kecilku sudah bisa melakukan begitu banyak hal sendiri. Rasanya baru kemarin kutimang-timang ia dengan kedua tangan. Mengganti popoknya, memastikan susu yang akan diminumnya bersuhu pas, tidak dingin, tidak juga terlalu panas.

Dalam usianya kini, semakin pintar ia bertanya tentang banyak hal. Tentang bagaimana cara burung terbang, tentang ke mana perginya matahari saat malam. Termasuk pertanyaan yang selalu bisa membuat lidahku kelu. Bukan sebab tak tahu jawabannya, tetapi karena aku tak punya nyali untuk menjawab.

"Pak, ibu Nina di mana? Kata teman-teman Nina nggak punya Ibu, ya?" Polos wajahnya bertanya.

Kuangkat tubuh mungilnya ke atas pangkuan. "Setiap orang, itu lahir dari seorang ibu, Nak. Jadi nggak ada yang nggak punya ibu."

"Ibu Nina di mana, Pak?"

"Kan udah ada Bapak. Bapak juga bisa jadi ibu."

"Ih, Bapak. Ibunya teman Nina itu pakai kerudung. Bapak, nggak pakai kerudung," protesnya.

"Eh, Bapak juga bisa tahu. Begini, ‘kan?” Kukerudungkan kain panjang yang biasa dipakai untuk menggendongnya dulu. “Ih, cantikan juga Bapak!"

Nina tertawa. Ah, tawa renyah itu adalah semangat hidupku.

Aku tak akan pernah lupa saat bibir mungilnya pertama kali berucap "Papa" dengan terbata-bata. Sampai pada akhirnya ia mampu memanggilku bapak dengan sempurna. Rasanya seperti seluruh dunia berada di genggamanku saat itu.

"Hah, anakku nyebut aku bapak. Kalian semuanya dengar? Dia udah bisa memanggilku bapak!" sorakku pada seluruh tetangga. Mereka pun turut gembira.

Apa semua orang tua akan merasakan hal yang sama? Hidupku berubah, hadirnya bak semburat fajar dalam gelap dan gigilnya waktu subuh. Segala sesuatu menjadi lebih berarti, seluruh hidupku memiliki satu tujuan yang pasti.

Belum banyak hal mampu kupersembahkan untuk bidadari kecil itu. Sekadar boneka yang ia mau saja, lama aku harus menyisihkan upahku sebagai buruh bangunan, mengumpulkan recehan sisa kami makan.
Sungguh seluruh lelahku luruh, saat tiba di rumah senyum manisnya yang menyambut.

"Bapak pulang! Bapak pulang! Bapak pulang!" Ia berlari sambil terus memanggil-manggil namaku. Nina merentangkan tangan, pertanda wajib atasku segera menggendongnya. Kalau tidak, tuan putriku akan merajuk.

"Ibu ...," gumamnya di dalam lelap.

Hatiku perih bukan kepalang. Betapa aku menyadari tidak akan pernah bisa hadir sebagai ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Kerinduan yang luar biasa memenuhi benaknya, pasti.

Apa yang bisa kukatakan padanya. Aku tak ingin Nina berhenti memanggilku bapak, jika ia tahu yang sebenarnya bahwa dirinya bukanlah darah dagingku. Aku pun tak memiliki seorang istri yang bisa ia anggap sebagai ibu. Satu-satunya wanita yang pernah kucintai, pada akhirnya memilih untuk pergi saat menyadari dia punya pilihan untuk hidup lebih baik.

Bagaimana aku bisa menceritakan seperti apa wajah ibunya. Haruskah kukatakan, pada malam itu aku menemukannya di dalam sebuah kardus. Lalu bagaimana jika selanjutnya anak pintar itu kembali bertanya, apa kardus itu adalah ibunya.

Jika memang begitu, maka kami memiliki ibu yang sama. Sebab kata mereka yang merawat dan membesarkanku dulu, aku pun ditemukan di dalam sebuah kardus, saat bahkan tali pusatku masih basah dan tubuh merahku berlumuran darah.

Seperti apa wajah ibu kita, Nak? Aku pun rindu. Tak pernah sekali pun aku merasakan hangat dekapnya, sentuh kasihnya, atau bahkan berisik omelannya.

Siapa ibu kita, Nak.



Cirebon, 20 Juli 2019.


EmoticonEmoticon