Cinta.
Seseorang pernah berkata, "Cinta, selalu ingin
menjadi segalanya." Cinta ingin menjadi atap pada rumahmu, cinta ingin
menjadi kata pada setiap ucapmu, cinta ingin menjadi kayu bakar pada api
unggunmu.
Cinta ingin menjadi apa pun tentang dirimu.
Sayangnya, cinta hanyalah sebentuk rasa yang bisa berubah. Kau tidak akan menemukan
cinta dengan wajah yang sama saat kau mengedipkan mata.
Suatu masa, seseorang akan merasa saling menemukan
satu sama lain. Seperti hujan di bibir kemarau, menjelma ia sebagai anugerah
terindah. Membujuk dengan segala upaya. Mengetuk-ngetuk tanpa tahu waktu sampai
pintu itu terbuka. Dengan apa pun sudi ditebus, meski harus menumpuk banyak topeng
pada wajah. Kemudian basi. Kembali tetap sunyi jadi kawan sejati. Saling
mencari, padahal tengah duduk saling berhadapan. Kau di mana, dia ke mana.
Apakah selalu seperti itu cinta?
Bernaungkan semburat jingga, sore itu dua manusia
duduk di bawah dahan-dahan gundul yang ditinggal gugur oleh daunnya. Angin berembus,
kadang kencang, kadang hilang. Terombang-ambing rasa mereka dalam diam yang
keramat. Tidak ada “hai, apa kabar” atau “aku merindukanmu”. Beku.
Padahal ini pertemuan yang mahal, meski waktu
keduanya terhitung lapang. Bahkan ponsel telah hampir menjadi bangkai, tidak
terpakai. Dulu, setiap sempat jemari bercumbu dengan layar gawai, ada rindu
yang debarnya selalu tak bisa menunggu. Kerap tersenyum seorang diri seperti
orang gila. Entah memang begitulah pertanda sang mabuk cinta. Menggebu, lalu
menjadi abu.
"Antarkan aku ke masa lalu," ucap Wani
memecah bisu. Nanar matanya memandang lurus ke depan. Kedua telapak tangannya
dikepalkan, meredam gejolak yang lama terpendam.
"Maksudmu?" tanya Bait, lelaki itu mengerutkan
dahi.
"Bawa aku ke masa lalu. Aku ingin menemui
kekasihku."
Bait menghela napas. "Aku ada di sini."
"Tidak! Dia sudah lama menghilang. Dia tidak
akan pernah membiarkanku kesepian sendiri. Bahkan lelapku saja dia sudi temani,
mendengarkan embus napasku di ujung telepon hanya untuk memastikan aku
tertidur." Suara gadis itu mulai bergetar, ada lapisan kaca pada lensa
matanya kali ini.
"Aku sibuk--"
“Kekasihku pun selalu sibuk," sela Wani. "Dia
pekerja keras, tapi padaku ia pulang melepas penat, denganku ia meluruh lelah. Kami
saling menceritakan tentang bagaimana hari berlalu.”
"Kita akan baik-baik saja. Percayalah."
"Apanya yang baik-baik saja?" Gadis itu memalingkan
wajah, menghapus matanya yang basah. "Kita tidak sedang baik-baik saja. Katakan,
apa aku telah melakukan kesalahan?”
“Tidak ada yang salah, sudahlah."
Wani bangkit dari duduknya, berdiri terisak di
hadapan lelaki itu dengan merapatkan kedua tangannya. "Bawa aku ke masa
lalu, bawa aku kembali ke masa itu. Aku mohon, aku rindu kekasihku, aku hanya
rindu."
"Sudahlah jangan seperti anak kecil."
"Aku sadar, banyak hal yang tidak aku miliki.
Kekurangan dan kelemahan yang lekat dengan diriku ini, tapi mohon jangan
perlakukan aku begini." Tak terbendung lagi, air matanya tumpah.
"Kamu tidak pernah membantuku memahamimu. Aku rindu kita yang dulu, saling
meminta dan memberi maaf tak pandang masa, saling membuka hati, bertukar isi kepala.”
Lelaki itu bergeming.
“Cinta tidak selesai hanya sampai kau menyatakannya.
Aku sudah hidup di dalam ruang yang kamu buatkan, lalu kenapa kini aku merasa
sendiri di sana. Kamu teramat dingin, lebih gigil dari pucuk-pucuk di pagi
hari. Apa yang salah dengan kita? Bantu aku menjawabnya ... jika kau masih ada
di sana." Beranjak Wani dari tempat itu, setidaknya lega hatinya telah
tertumpahkan bersama deraian yang kian deras menemani langkah.
"Sayang ...," panggil Bait.
Wani menghentikan langkah.
"Maafkan aku,” lirih Bait.
"Sesekali kunjungilah ingatanmu tentang kita.
Bagaimana dulu saling berusaha membuat satu sama lain percaya lagi cinta, dan
bahwa kita dan rasa itu nyata. Namun, jika ... sudah tidak ada lagi, sudahi aku
dengan jantan seperti saat kamu memintaku menemani hidupmu. Jangan jadi
pecundang dengan membiarkanku menerka-nerka keadaan," ungkap Wani dengan
tanpa berbalik arah.
Melangkah mendekat, Bait mendekap gadis itu dari
belakang.
Luluh, Wani membalikkan tubuh, memeluk erat dan membasahi
bahu Bait dengan air matanya yang hangat. "Beritahu, apa yang hati kecilmu
mau. Aku pun ingin selalu menjadi yang paling memahamimu. Jika bersamaku tidak
membahagiakanmu, jujur pada hatimu, juga padaku. Jangan biarkan aku berjuang
sendiri, aku membutuhkanmu di sini,” bisiknya.
Cinta, tidak pernah menjamin bisa membuat hidupmu
selalu berjalan indah. Namun, terkadang justru pahit juga asamnya hidup akan terasa
indah sebab adanya cinta. Kita yang membukakan pintu saat ada yang mengetuknya.
Hanya bisa memegang kata, sungguh-sungguh jawabnya saat kita bertanya ia datang
untuk apa.
Cirebon, 20 Juli 2019.
EmoticonEmoticon