iklan banner

Sabtu, 28 September 2019

JURNAL NOKTURNAL II




Seandainya kita tak punya banyak waktu untuk bicara.
Ini tetap senyumku yang paripurna. Akan kuingat malam-malam sepi yang menggelitik geli. Juga lelucon kita yang terkadang mengundang jijik. Kini hampir basi.
Kau lupa cara tertawa dan aku banyak kehilangan kosakata.

Masa itu terkenang juga.
Aku terdiam. Setelah kemenangan telakku, pada setiap adu argument yang menjengkelkan waktu itu. Di titik ini aku kembali kalah, sekalah-kalahnya seseorang yang pernah kalah.
Ada bulir air serupa embun jatuh di sudut mataku. Adalah hal yang menyebalkan saat aku mulai menyadari, sebagian dari diriku tak bisa kembali.
Namun, kau tetap menjelma rumah. Padamu doa-doaku berpulang sekalipun aku sedang payah.

Tiba-tiba saja kau menghilang di ujung jalan sepi. Kali ini aku tak ingin berlari. Tak akan menjauh. Kusudahi sekarat menepis hasrat. Aku membutuhkanmu. Menunda malu mengakui itu.

Kita adalah dua sunyi yang saling menemukan. Tentang hari ini, firasatku pernah berkata kau akan hilang. Tiba masa tak ada lagi pembicaraan kita yang menyenangkan. Aku seperti telah bersiap dengan hati lapang.

Entah dirimu masih dalam sudi sekadar menyebutku teman. Bukankah sebaik-baiknya jika dulu debar ini kupadamkan?

Maka, seandainya kita tak punya banyak waktu lagi untuk bicara.
Ini malam aku tetap ingin menitip rasa terima kasih yang sama. Kau sudah datang, singgah di hidupku yang membosankan.

Aku sedang terjaga di sepertiga malam. Bisik Tuhan, yang menjadi hakku akan datang padaku.
Begitu pula perihal kamu. 

Janari, 28 September 2019.


Next
This Is The Current Newest Page


EmoticonEmoticon