iklan banner

Senin, 07 Januari 2019

Doa Kita Tidak Menuju Langit Yang Sama


...
"Sudah berapa lama kita bersama, Nah?" tanyanya seraya menautkan jemari kita di atas meja kayu.

Aku berdengus meluruh sesak dari rongga paru, "Dua tahun."

"Benarkah ... bahwa kita telah terlalu lama membuang waktu, Nah?"

Dia menghunus pandangan tepat di nyaliku. Manik matanya berkilau, sesilau langit siang itu. Aku membuang wajah, kalah. Pertahananku goyah, air mata tumpah.
...

Apa kami tengah menyesal, memberi nama pada debar yang terkadang membuat napas tersengal. Nyatanya semakin sempit kini dada kami, kendati abu-abu telah berganti warna merah muda. Setengah nekat saling mengakui cinta. Berbagi kasih, lalu kelu setiap kali tanya menuntut jawab. Akan ke mana cinta kami menuju.
...

Meski alhamdulillahku kaujawab puji Tuhan, tetap erat tangan kami menjabat sepakat. Percaya suatu kelak cinta akan menemukan jalan. Namun, nyatanya kian tersesat dalam labirin tanya, entah siapa yang pada akhirnya rela mengalah di antara kami berdua.
...

"Jangan lancang mempertanyakan ketentuan Tuhan!" jawab tegas Ayah, semakin membuat genggaman kami melemah.

Keberaniannya bertemu kedua orangtuaku hari itu termentahkan keadaan, tetapi kami tetap sepasang sayap yang saling mengepak untuk terbang. Hasrat untuk bersama semakin menambah khusyuk doa, kami merayu Tuhan. Di atas sajadah panjang sujudku melekat tanpa sekat, dia di gereja tertunduk khidmat.
...

"Tuhan itu satu 'kan, Nah?" tanya lelaki itu dalam sejuk senja di bangku taman.

"Iya."

"Lalu kenapa DIA menjadikan kita berbeda?"

Aku memejamkan mata, mengerti ke arah mana dia bawa pembicaraan kami.
"Manusia yang membuat perbedaan itu ada."

"Atas kehendak Tuhan, Jannah." Ia menghela napas.

Pada akhirnya keteguhan iman kami meyakini kasih Tuhan, mengalahkan keras hati untuk membuktikan bahwa cinta tak terkalahkan perbedaan. Seperti aku yang tak mungkin mengikutinya, dia pun tak mungkin mengikutiku. Perlahan kami terus meregang jalinan-jalinan yang telanjur erat mendekap. Demi nama kebaikan luka koyak di dada kami saling sembunyikan.

"Kau percaya bukan, Nah. Tuhan itu Maha Cinta? Maha Pengasih dan Penyayang."

Aku mengangguk pasrah, dengan air mata membasahi wajah.

"Maka hari ini, aku kembalikan kau pada Sang Maha Cinta." Nadanya melemah, terbata menahan isak yang sama.

Aku bergeming.
Saat itu aku adalah sehelai dedaunan menguning, yang tengah bersiap terlepas dari dahan kering.

"Seindah arti namamu, Jannah. Surga yang terjaga kesuciannya. Aku tak menyesal kita pernah bersama, tapi mereka benar. Kita tak semestinya menawar ketentuan Tuhan. Tetaplah menjadi surga bagi orang-orang yang kau sayangi, Kekasih. Kau akan tetap ada di sini." Tegas ia menunjuk satu titik di dadanya yang bidang.

"Biarkan aku ... tetap dalam cinta, tanpa harus melanggar garis batasan kita, sebagai hamba," pungkasnya.

Selesai, kisah ini telah usai.
Di atas dunia, kembali melangkah di jalan berbeda. Sebab doa kami tak menuju langit yang sama.

Cirebon, 13 Oktober 2018


Penulis: Rine Nopianti.


EmoticonEmoticon