iklan banner

Senin, 07 Januari 2019

Inayah

Gelegar petir menyambar. Tak terkira langit memuntahkan hujan. Gelisah, berulang kali kulirik jam yang melingkar di tangan. Hari semakin sore, semestinya aku sudah pergi menjemput putriku dari sekolahnya. Namun, di rumahku saat ini tengah banyak orang berkumpul. Teman, sanak saudara, tetangga jauh hingga dekat, memenuhi ruang keluarga rumah kami yang sederhana. Aku sedikit lupa dalam rangka apa mereka bertamu serempak seperti ini. Pikir dan batinku terlalu sibuk memikirkan putriku. Ia pasti telah lama menunggu.

       Beberapa kali aku mengintip dari balik pintu kamar. Mencari kesempatan, mencuri waktu untuk pergi sebentar. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Mengendap-endap aku keluar dari pintu belakang. Mereka pasti mencari, tapi kupastikan akan segera kembali.

       Resah tak terkira, aku berjalan cepat dengan payung di tangan. Sekolah putriku Memang tak begitu jauh dari rumah kami. Akan tetapi aku kerap mengantar jemputnya hingga ia duduk di kelas sebelas saat ini. Mengingat jalan menuju rumah kami tergolong rawan, banyak kejahatan sudah terjadi.

      "Kau mau ke mana, Dirman?" sahut seseorang yang berjalan ke arah berlawanan.

      "Aku mau jemput Inayah, putriku," jawabku dengan tak menghentikan langkah.

      Samar-samar aku mendengar orang itu kembali menyahut. Tapi tak kuhiraukan, tak ingin membuang waktu. Tergopoh-gopoh aku berjalan melawan badai. Payung di tanganku hampir rusak, tak kuat menahan terjangan angin. Percuma, tubuhku tetap basah kuyup karenanya.

       Lega hati manakala telah sampai di tempat yang kutuju. Putriku masih berdiri di depan gerbang sekolah yang telah tertutup. Tak ada seorang pun di sana, mungkin semua anak sudah dijemput oleh orang tuanya masing-masing.

      "Inayah," sahutku.

      Anakku menoleh, wajahnya pucat pasi. Mungkin kedinginan terlalu lama menungguku datang.

      "Maaf, Bapak lama. Banyak tamu di rumah, enggak enak perginya." Menahan dingin di badan, suaraku bergetar.

      Putriku tersenyum, "Enggak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak datang, Inayah takut pulang sendirian."

      Aku menyodorkan bungkusan plastik ke tangannya, "Ini jaket dan jas hujan kamu, Nak. Dipakai ya ... kita segera pulang, kasihan kamu kedinginan."

      Inayah menggelengkan kepala, "Enggak ah, Pak. Inayah mau hujan-hujanan."

     "Eh, jangan. Nanti kamu sakit, Nak."

     "Enggak, Bapak. Itu ... Bapak juga basah-basahan, jadi kita hujan-hujanan aja sekalian, ya."

     "Ya sudah, yuk, pulang." Inayah meraih lenganku.

      Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahuku. Manja. Berjalan pelan kami menikmati guyuran hujan. Kemudian di ujung jalan beberapa orang datang. Tetangga-tetanggaku menghadang kami di jalan.
     "Dari mana saja kau, Dirman?" tanya salah seorang dari mereka.

     "Iya, di rumah kau lagi banyak orang. Kau malah ada di sini," timpal yang lainnya.

     "Maaf, bukan tak sopan. Aku habis jemput dulu Inayah. Udah sore begini anakku belum kujemput pulang sekolah."

     "Astagfirullah. Mengucap kau, Dirman."

     Alisku bertaut, "Kenapa?"

     "Kau harus ikhlas, Dirman. Biar putrimu bisa pergi dengan tenang. Sekarang cepat kau pulang, Inayah mau dikuburkan."

     "Apalah kau ini. Jangan sembarang bicara!" Nadaku meninggi.

     "Siapa yang akan dikuburkan. Inayah ada di-" ucapku terhenti saat tak mendapati lagi Inayah di sampingku. Celingukan mencari. Kupanggil namanya, tetapi ia tak menjawab.

      Salah satu tetanggaku mendekat, menepuk pundakku, "Tabahkan hatimu, Dirman. Inayah ada di rumah. Dia sudah meninggal. Siang tadi, sepulang sekolah dia dihadang orang jahat di jalan ini. Mereka telah membunuh putrimu. Sekarang kau cepat pulang, anakmu akan segera dimakamkan. Polisi juga mencarimu, mereka sudah menemukan pelaku pembunuhan putrimu."

      Rasa tersambar petir aku kala itu. Geli, rasa digelitik aku mendengar ucap mereka perihal Inayah. Aku tertawa terbahak dengan air mata mengucur di wajah. Aku terus tertawa saat mereka menuntutku berjalan pulang. Aku tahu para tetanggaku memang sangat senang bercanda, tetapi kali ini candaan mereka sungguh sangat keterlaluan. Lalu hampa, kosong seketika terdalamku. Menatap wajah cantik putri semata wayangku terbaring dibalut kain putih. Inayahku telah menjadi mayat.

      Aku mengutuk hujan yang turun hari ini. Aku mengutuk diriku sendiri, sebab hujan menghalangiku pergi siang tadi. Hingga para jahanam itu yang lebih dulu menemui putriku, mengantarkan ia pulang menghadap Tuhan. Dalam ketidaksiapanku.



Cirebon, 20 November 2018.

Penulis: Rine Nopianti


EmoticonEmoticon