iklan banner

Senin, 07 Januari 2019

Kumandang Adzan Untuk Bapak


Pagi buta. Suara azan Bapak membangunkanku seperti biasa. Satu dua kucekan mata, aku bangkit menyusul beliau ke musala tak jauh rumah.

    Merdu suara azan beliau diakui oleh semua orang. Sebab itu, oleh masyarakat beliau dijadikan muazin di lingkungan kami semenjak aku masih kecil.

    Terkadang, orang-orang membandingkan dengan diriku yang tak pernah sekali pun terdengar mengumandangkan azan.

     Bapaknya muazin, tapi anaknya tak bisa azan.

    "Kamu yang azan ya, Nak," titah Bapak, sambil menyodorkan mic.

    "Bapak saja ya, saya enggak bisa," tolakku.

    "Masa dengar azan tiap hari bilang enggak bisa. Nanti kalau meninggal siapa yang mengazani Bapak kalau bukan kamu."

    "Mmm ... Bapak saja ya." Beliau tersenyum, lalu mengambil alih mic di tanganku.

    Suatu hari, aku tergugah ucapan Bapak pada waktu itu.

    "Jika Bapak meninggal, siapa yang akan mengazani ...."

     Pada akhirnya aku memberanikan diri, mengenyampingkan segala apa pun alasanku dulu tidak pernah mau mengumandangkan azan.

     Dengan suara pelan sambil mengatur isi dada, kukumandangkan azan untuk Bapak. "Pak. Dengarlah anakmu azan," bisikku pada Bapak yang terbaring di liang lahatnya.








Cirebon, 16 November 2018.

Penulis: Rine Nopianti


EmoticonEmoticon