iklan banner

Senin, 14 Januari 2019

Kado Ayah


"Selamat ulang tahun, Ca."

"Selamat ulang tahun, Fi."

Kedua gadis itu berangkulan penuh kasih. Pada hari yang sama tengah merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Sweet seventeen yang ditunggu. Untuk meninggalkan jejak kenangan paling berkesan, tak akan terlupakan.

Akan tetapi mereka memilih melaluinya dengan sederhana. Saling menyuapi nasi kuning di dalam kelas, mengaminkan doa satu sama lain, lalu bertukar kado. Ritual yang sudah beberapa tahun ini mereka jalani bersama sebagai sahabat.

"Ya ampun, Ca. Ini ... bagus banget. Terlalu bagus malahan," ucap Sofi setelah membuka kado pemberian Ica. Berisi jam tangan yang tampak mahal. Ada rasa minder dalam benak gadis itu, membandingkan dengan pemberiannya yang hanya berupa sapu tangan berhiaskan sulaman tangan ibundanya.

"Sofi, ini ... ini pasti buatan ibumu 'kan?" Ica mendekap kado dari sang sahabat di dadanya.

"Kamu suka? Maaf ya, Ca. Aku cuma-"

"Fi, aku suka banget."

Sofi menghela napas lega, "Eh, bagus gak, Ca?" tanya Sofi, seraya menunjukkan sebuah gelang dari anyaman benang warna-warni pada teman sebangkunya, Ica.

"Bagus," jawab Ica singkat.

"Ayahku yang buatkan. Ini kado dari Ayah, Ca. Cantik ya?"

Raut wajah Ica berubah. Gadis berseragam putih abu itu meraih tangan Sofi. Ditelitinya gelang yang melingkar di pergelangan tangan sahabatnya. Kemudian segaris senyum tercipta di bibir tipis Ica.
Sofi berdengus, "Semoga yang satu ini nggak akan hilang."

Tak lama berselang denting bel menggema ke seluruh sudut sekolah. Waktunya pulang.

"Aku duluan ya, Ca." Sofi melambaikan tangan sambil berlalu.

"Sampai jumpa besok, Fi," sahut Ica. Nanar mata gadis itu menatap kepergian karibnya di depan kelas. Sofi bersandar manja pada punggung sang ayah. Mereka melaju dengan sepeda motor tua diiringi canda tawa.

Tak ada yang Sofi miliki, tak mampu Ica beli. Kecuali satu hal.

Sekian waktu memendam bara dengki. Saat sahabatnya dengan bangga menceritakan sosok sang ayah. Menggambarkan dengan rinci betapa bahagianya dia hidup dalam naungan kasih sayang keluarga yang lengkap. Sementara Ica menyimpan getir. Menjalani hidup sebagai yatim.
...

Ica menghela napas kasar setelah turun dari sedan hitam yang disediakan untuk mengantar jemputnya pergi. Miris memandang rumah yang tampak mewah tapi seolah tak pernah ada kehidupan di dalamnya.

“Ma,” sahut Ica saat memasuki rumah.

“Mama, hari ini Ica-“ ucap Ica terhenti saat menyadari sang ibu mungkin tak berada di rumah. Seperti biasa.

Sejak sang ayah wafat, ibunyalah yang kini menjalankan usaha keluarga mereka. Kesibukkan melakoni peran sebagai kepala keluarga sekaligus pemimpin perusahaan membuat wanita itu hampir tak memiliki waktu. Untuk sekadar bertegur sapa, apalagi mengingat hari ulang tahun anak perempuan semata wayangnya. Tak seperti dulu.

Berderit suara pintu, Ica memasuki kamarnya dengan lesu. Namun, seketika wajah gadis itu berubah ceria.

“Ayah ingat hari ulang tahun Ica 'kan? Ayah belikan Ica gelang? Mana, Yah, mana?” kata Ica di depan cermin. Gadis itu mengulurkan tangan pada kekosongan di hadapannya.

“Bagus banget. Makasih, Ayah. Ica suka … Ica suka,” sorak gadis itu seraya melompat-lompat ke atas tempat tidurnya yang empuk. Pada kenyataannya, tak ada gelang atau apa pun melingkar di tangan gadis itu.

“Ica … sayang Ayah.” Ica terduduk, tangannya meraih bantal guling lantas dipeluk erat seakan benar-benar sang ayah yang tengah bersamanya.

“Ica rindu, Ayah,” lirih Ica, linangan jatuh dari matanya. Semakian deras, tersedu gadis itu hingga tertidur dengan seragam dan sepatu yang masih melekat di tubuhnya.
Keesokan harinya.

"Gelang ... gelangku mana?” Sofi terlihat panik, ia memeriksa tas hingga kolong meja dan kursi belajarnya.

“Teman-teman, ada yang liat gelangku nggak?" tanya Sofi di muka kelas. Kompak teman-temannya menggelengkan kepala dengan jawaban tidak.

Sofi beringsut duduk di balik mejanya. Sedih bukan kepalang, kali kesekian barang-barang miliknya kedapatan raib entah ke mana. Hadiah-hadiah kecil yang berarti besar dari sang Ayah.

Seorang kawan mendekat seraya menepuk pundak Sofi, "Tadi Gue lihat Ica ngambil gelang itu dari dalam tasmu."

"Apa? Gak mungkinlah, buat apa juga Ica ambil gelang itu."

"Gue cuma ngasih tau yang Gue lihat. Lu tanya aja sama Ica."
...
Tak lama kemudian Ica datang. Rautnya terlihat seperti biasa, tak ada yang mencurigakan. Meski tak percaya, akhirnya Sofi mempertanyakan hal serupa.

"Ca. Lihat gelang yang kemarin aku tunjukkin nggak?"

Alis Ica bertaut, "Gelang?"

"Gelang yang aku bilang pemberian ayahku," lanjut Sofi.

"Aku nggak tau, Fi. Ketinggalan di rumah kali."

"Nggak, Ca. Gelang itu masih aku pakai tadi pagi. Aku buka waktu mau ke kamar mandi, sebentar doang. Sekarang ... hilang." Air mata mulai menggenangi mata Sofi.

Ica mengangkat kedua bahunya, "Aku juga nggak tahu. Ya udah tenang, nanti kubantu cari."

Sofi menutup wajah dengan kesepuluh jarinya. Gadis itu terisak.

Ica melirik dengan pandangan yang entah apa artinya.
Sepulang sekolah dengan alasan ingin meminjam buku, Sofi ikut pulang ke rumah Ica. Padahal ia hanya ingin menuntaskan rasa penasaran, setelah seseorang mengatakan bahwa Ica yang telah mengambil gelang kesayangan miliknya.

Di dalam kamar Ica yang luas, kedua gadis itu gaduh bersenda gurau membicarakan banyak hal. Terlalu banyak tertawa, hingga kering rasanya tenggorokan.

“Aku haus, Ca,” kata Sofi.

“Bentar ya, Fi. Aku ambilin minum dulu.” Ica beranjak pergi dari kamarnya.

Cukup lama Sofi terdiam setelah Ica menghilang di balik pintu. Perang batin, antara harus percaya atau tidak. Bahwa Ica yang telah menjadi sahabatnya semenjak sama-sama duduk di bangku sekolah menengah pertama, mencuri sesuatu yang sama sekali tak ada nilainya.

Pertanyaannya, untuk apa? Apa untungnya bagi Ica, jika benar ia yang telah mengambilnya.

Akan tetapi lalu hati dan pikiran Sofi sepakat. Sebuah kepastian tetap harus ia dapat. Setidaknya agar kemudian hatinya menjadi tenang. Tanpa menanggung prasangka yang tak terjawab.

Sofi bangkit dan bergegas memeriksa tas dan meja belajar Ica. Nihil, tak ada apa pun ia temukan. Beralih ia membuka laci kabinet di samping tempat tidur sahabatnya. Lalu terperangah Sofi saat membuka sebuah kotak kayu, berisikan seluruh benda-benda miliknya yang pernah hilang. Termasuk gelang anyaman benang aneka warna yang baru saja kemarin ia dapatkan, sebagai kado ulang tahun dari sang ayah.

Mata Sofi pedih berair. Tak menyangka akan menemukan kembali benda-benda miliknya di tempat tak terduga.

Suara pintu dibuka. Ica datang dengan gelas jus buah di kedua tangannya.

"Ini min-" ucap Ica tertahan di ujung lidah saat melihat kotak kayu itu berada di tangan sahabatnya.

"Ini apa, Ca?" tanya Sofi seraya mengangkat kotak di tangannya.

Ica bergeming.

"Kalung, pena, jepit rambut ... gelang." Sofi menyebutkan satu per satu benda yang ia temukan. Barang-barang miliknya yang pernah hilang.

"Ca. Kenapa?" Air mata Sofi jatuh tak berpenghalang.

"Ini semua barang murah, Ca. Kamu bisa beli semua ini berapa banyak pun yang kamu mau. Kenapa harus kamu curi milikku? Kamu nggak tau betapa semua benda itu berharga buatku." Marah, nada suara Sofi meninggi.

"Aku nggak nyangka ... sahabatku klepto." Sofi melangkah. Sengaja ia menabrak bahu Ica yang berdiri mematung.

"Bukan tentang harga, Sofi," jawab Ica. Melangkah pelan lalu meletakkan gelas di tangannya ke atas meja belajar. Sofi menghentikan langkahnya.

"Sebab semua benda itu pemberian ayahmu, Fi," suara Ica mulai serak.

"Aku nggak pernah diberi hadiah lagi sama ayahku, Fi," isak Ica.

"Aku rindu Ayah. Aku juga mau kayak kamu. Bercanda sama ayahmu, disayangi ayahmu, diberikan banyak doa di hari ulang tahun oleh Ayah, diberi hadiah ini itu. Aku mau seperti kamu. Tapi ayahku sudah meninggal, ayahku udah nggak bersamaku." Sambil tersedu, Ica pun meninggikan suaranya.
Sofi berbalik, melangkah lalu berhenti di hadapan Ica.

"Itu sebab kamu hanya melihat ketiadaannya, Ca." Sofi memberi jeda, "Aku tahu ... mungkin akan berbeda sebab alhamdulillah, ayahku masih ada bersamaku. Tapi, coba saja kamu anggap ayahmu ada, tetap ada, tetap bersamamu. Dengan atau tanpa raga yang fana. Sebab sebenarnya kamu pun adalah dia. Dirinya yang memecah membentuk manusia baru, yaitu kamu. Dia bersamamu. Bahkan tanpa jarak, Ica."

Wajah Ica tertunduk.

"Jangan tempatkan ayahmu di tempat terjauh, Ca. Apalagi di tempat yang tak terjangkau olehmu," pungkas Sofi, lalu beranjak pergi.

Ica terisak.

"Ca," panggil Sofi di ambang pintu kamar sahabatnya.

Ica menoleh dengan wajah yang basah oleh air mata.

"Aku nggak bisa gantikan ayahmu. Tapi aku sayang kamu, Ca. Selamat ulang tahun, sekali lagi dariku. Bisakah kamu anggap ini ucapan dari ayahmu?" lirih Sofi bertanya.

Ica berhamburan memeluk Sofi. Keduanya menangis.

"Maafkan aku, Fi."

"Kita udah lama berteman, bahkan lebih dari itu. Orang tuaku juga orang tuamu, Ca."
...


Ditulis:
Cirebon, 04 November 2018.

Rine Nopianti


EmoticonEmoticon