iklan banner

Sabtu, 26 Januari 2019

Penunggu Ruang Rindu

Menanti malam tiba rasanya begitu menyiksa. Tak kuasa
lagi kutahan gejolak batin.
Walau sudah tak terhitung berapa kali kami bertemu,
beradu rindu.
Sampai akhirnya aku pun tiba bersama malam, disambut senyum manis pada bibir ranumnya di pintu rumah.
"Mas ko sudah pulang lagi," tanya perempuanku, sambil mengaduk kopi.
"Iya. Mas rindu kamu, Dik," jawabku.
"Ah, Mas ini. Jangan-jangan di rantau sana suka genit sama perempuan lain."
"Mana ada, Dik. Mas sudah punya Istri yang sempurna," rayuku seraya melingkarkan
tangan di pinggangnya yang ramping.
"Gombal!" Dia mencubit lembut hidungku.
Ah, ini dia manja perempuanku yang selalu mengundang rindu. Seperti kejatuhan bulan saat kesempatan itu datang.
Dulu aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Bila malam datang, diam-diam dari
atas dahan pohon di dekat rumahnya, mengintip untuk sekadar melihat wajah teduh nan rupawan. Kini dia ada dipelukan, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Kubelai-belai rambut panjangnya yang lembut tergerai.
"Mas, kok tanda lahir di leher mas hilang?" tanyanya heran. Ia terus memperhatikan
batang leherku. Membuatku gelagapan.
Gugup aku dibuatnya. Entah harus kujawab apa.
"Eum ... masa tanda lahir hilang. Coba cari lagi mungkin tadi tak terlihat, Dik."
jawabku sekenanya.
Mataku membulat menatap cermin yang menempel pada dinding di belakang
perempuan itu.
"Sial. Bagaimana bisa, aku lupa menambahkan tanda lahir dalam wujud manusia ini," gerutuku dalam hati.
Kesal, kedua taringku pun keluar.



Penulis : Rine Nopianti


EmoticonEmoticon