Entah karena memang faktor usia atau
sebab tiga lolli Milkita tak lagi sama dengan segelas susu. Enyak jadi
pelupa.
Mulai dari lupa
angkat jemuran, lalu malah hujan yang disalahkan. Sampai merajuk enggak mau
turun lagi. Kemarau panjang, air langka, jadilah tayamum berjamaah.
Hingga
saat Enyak menyingsingkan
lengan daster, sambil ngemut permen lolli Milkita favoritnya beliau mengancam
kalau hujan enggak mau turun juga, Enyak yang
akan naik. Takluk, akhirnya hujan turun begitu derasnya. Kebasahan, lagi-lagi Enyak murka. Sabar ya, jan.
Enyak juga
mulai lupa nama anak-anaknya. Sekadar informasi, Enyakpunya empat orang
anak yang kesemuanya punya lubang hidung dua.
Anak-anaknya
yang perempuan, yaitu aku, Izah, dan Zahro punya hobi yang sama. Mengkoleksi
hijab. Tak jarang apa yang dimiliki salah satu akan jadi rebutan yang lainnya.
Kecuali pacar, itu rebutnya diam-diam.
Sedangkan,
Zul, si anak ketiga ini berbeda. Karena laki-laki jadi dia mengkoleksi high
heels. Buat di jual maksudnya.
"Eh,
Zul, beliin Milkita ke warung," sahut Enyak di
depan televisi.
Karena
tak merasa terpanggil aku diam saja.
"Bocah,
dipanggil orang tua diem-diem bae," rutuk Enyak.
"Enyak manggil Zul
'kan?" Alisku bertaut.
"Maksudnya
Elu, Zah," kilah Enyak.
"Apa,
Nyak?" sahut Izah, nongol dari dalam magic com.
"Bukan,
maksud Enyak, Zahro."
"Aye,
Nyak?" Zahro muncul dari kolong daster Enyak.
"Bukan,
etdah, susah amat ya." Enyak mulai
kesal.
"Aye
Saroh, Nyak-"
"Nah,
itu maksudnya Elu Saroh," sela Enyak,
"Sana, beli tiga lolli Milkita."
Setelah
menerima titah, aku pun beranjak.
"Eh,
lupa. Sekalian beli sabun colek ya, Zah,” sahut Enyak lagi.
“Aye
Saroh, Nyak!” rutukku.
Cirebon,
17 Desember 2018.
EmoticonEmoticon