iklan banner

Selasa, 23 April 2019

POLA (Sejarah yang Berulang)



Yang pertama terlintas di benakku, saat menghirup udara sejuk khas pegunungan ini adalah wajah seorang lelaki, yang pernah berkata bahwa kotanya diciptakan Tuhan untuk menjadi miniatur surga. Berebut dengan berapa pasang paru-paru pun kau tak akan kekurangan oksigen. Sebab rimbun pepohonan hijau senantiasa menyediakannya. Melimpah ruah dan cuma-cuma, saat kota lain berlomba menanam beton di atas tulang belulang manusia. Dari hulu Ciremai sungai-sungai mengalir jernih, kilaunya bak manik mata bidadari. Juga kerlingan biji-biji padi yang menguning di hamparan sawah petani, akan selalu  membuatmu rindu ingin kembali.

Aku tak percaya akan kembali ke sini. Sejenak rasanya sama seperti sedang menggali kuburanku sendiri. Ya, aku pernah terkubur hidup-hidup di kota ini. Saat cinta tak berkawan baik dengan prahara dan aku harus menua tanpanya. Bahkan rindu bertalu-talu pun tak pernah memberiku nyali untuk sekadar mengintip masa lalu. Hingga pada suatu hari, santun sapa seorang gadis jelita lewat layanan pesan Facebook, mengundangku untuk bertandang ke kota yang pernah dengan sumpah serapah kutinggalkan itu. Beberapa hal darinya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki yang pernah berkata bahwa kotanya adalah miniatur surga dari Tuhan. Mungkin sebab dari separuh dirinyalah sang dara tercipta.

Gadis itu bernama Ayana, putri dari Arya. Seseorang dari masa lalu. Aku tak tahu pasti, dari mana ia mengetahui sejarah lamaku dengan sang ayah. Namun, tentu saja aku senang bisa mengenalnya.

Ayana bercerita betapa sudah lama ia mencari. Walau hanya berbekal nama, foto lama dan rasa yakin bahwa ia bisa menemukanku di dunia maya. Media tak bersekat yang bisa membuat siapa pun terhubung satu sama lain. Terberkatilah teknologi, jika saja wanita tua ini tak pernah tergoda untuk membuat akun jejaring sosial, mungkin sampai kapan pun kami tak akan saling mengenal.

Dalam obrolan kami yang panjang, gadis itu telah membuatku berjanji untuk menemuinya di suatu tempat dan di sinilah aku sekarang. Gedung Perundingan Linggarjati. Bangunan yang sekilas tampak seperti rumah tinggal kuno biasa, tetapi begitu kaya akan nilai sejarah. Sekeping kisahku pun abadi bersamanya. Pelesiranku kali ini rasanya seperti sebuah penziarahan.
Beberapa langkah melewati pintu masuk, seorang perempuan penjual tiket menyambutku dengan senyum ramah. Dua ribu rupiah, nominal yang teramat murah untuk sebuah perjalanan berharga.

Tak banyak yang berubah. Bingkai-bingkai kaca masih memeluk erat potret usang dari peristiwa-peristiwa penting yang pernah berlangsung di tempat itu, pada masa silam. Rapi menempel di dinding bercat putih tulang. Lampu gantung klasik bercabang lima yang menjadi sumber penerangan, beberapa perabot keramik yang terlindung apik lemari kaca, juga aneka furnitur berbahan kayu jati yang masih terlihat kokoh tak termakan zaman. Seketika mampu memberi kesan seakan kita hidup pada hari yang sama saat bangunan itu masih digunakan.

Melangkah pelan kakiku di antara dua meja panjang dengan masing-masing empat kursi kayu saling berhadapan, juga ditutupi taplak hijau tua khas pengadilan. Tempat yang dulunya menjadi titik perundingan yang alot dan menegangkan.

Lalu dari lorong kamar tidur delegasi, mata ini mendapati wajah yang amat kukenal sedang berdiri di tengah kerumunan beberapa orang. Ia melihat ke arahku dengan sorot mata yang entah. Telanjur sudah ditemukan, perjumpaan kami tak mungkin bisa dihindari lagi. Aku hanya berharap bahwa itu bukan tatapan benci atau dendam yang tersisa dari masa silam.

Setiap langkah ia semakin mendekat, rasanya seperti jantungku akan loncat dari tulang iga yang memagarinya. Sesaat kami hanya saling berbalas senyum tanpa sanggup berkata apa pun. Situasi yang rasanya jauh lebih canggung dari pertemuan pertama kami dua puluh tahun lalu.

“Ke mana saja kamu, Wi? Setelah pulang ke rumah orang tuamu, kamu lupakan sama sekali kota ini,” katanya, memecah kebekuan di antara kami.

“Jakarta telah menawanku untuk tetap berada di sana. Bersama anak-anak didikku di sebuah taman kanak-kanak.”

“Apa betahnya tinggal di kota yang tak pernah tidur itu?”

“Setidaknya aku tak harus tidur untuk memimpikan kamu,” celotehku. Ujung bibir lelaki itu menyungging.

“Bagaimana dengan dirimu?”

“Seperti yang kamu lihat. Aku masih di sini, dengan profesiku yang dulu. Dinas Pariwisata masih mempercayakanku untuk menjadi penyambung lidah sejarah.”

Dulu lewat tangan lelaki itu bangunan tua ini pernah menghidupiku selama bertahun-tahun. Diorama yang terkurung kaca bening adalah saksi kisah usang tentang pengunjung yang jatuh cinta pada pemandu wisatanya. Museum itu masih kokoh berdiri, walau kami telah pincang bahkan tak lagi berjalan sama sekali.
“Kamu ke sini bersama … suamimu?” tanya Arya, sambil menemaniku menyusuri tiap sudut museum sebagaimana memang tugasnya. Seperti masa lalu.

“Aku sendirian.”

“Oh iya, tentu saja. Suamimu pasti sedang sibuk bekerja.”

“Aku … belum menikah lagi.”

Arya tampak terkejut. “Benarkah? Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya belum butuh pemandu yang lain,” selorohku.

Lelaki itu kembali tersenyum dan aku tak ingin terlalu lama melihatnya. Sebab senyuman itu yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.

“Pada tahun seribu sembilan ratus delapan belas silam, di sini Tuhan mengutus ibu Jasitem meletakkan batu pertama dalam wujud gubuk sederhananya. Hingga lalu bangunan ini beberapa kali berganti wajah dan abadi dikenang dunia bersama namanya.” Lelaki itu memberi jeda. “Kita tetap bisa menikmati sejarah, tanpa harus kembali merasakan pahit getirnya.”

Raut wajah Arya berubah. Binar matanya seolah mengajakku untuk mengingat pertengkaran yang dulu seolah tak pernah menemui jemu. Segala apa pun pada akhirnya menggiring kami pada syak wasangka dan adu mulut yang begitu membosankan. Juga malam-malam yang dinginnya seakan merobek kulit dan menusuk tulang, tak ada dekap saling menghangatkan seperti gelora awal pernikahan. Kami saling memunggungi, memendam bara yang hanya diketahui oleh sendiri-sendiri. Sejenak aku memejamkan mata, menghalau segala kenangan itu berkelebatan di sana. Aku tak punya banyak energi untuk mengingat masa itu kembali.

“Lihatlah, Wi!” Arya menunjuk cermin besar yang terletak pada sudut ruang makan yang baru saja kami masuki.

Aku tersenyum memandang bayangan kami pada pantulan benda bening itu. “Ada yang salah dengan cerminnya. Bagaimana bisa aku tampak tua di sana.”

“Dua orang tua dalam cermin itu pernah begitu menikmati cinta yang menggebu, tetapi harus kalah dalam ujiannya yang hanya sebutir debu,” lirih Arya.

“Aku tak bisa memberimu keturunan. Itu bukanlah ujian yang hanya sebutir debu.”

Dia menghela napas. “Aku yang terlalu sempit memaknai arti bahagia, dengan harus adanya anak dalam pernikahan kita. Mungkin sebab dulu kita masih terlalu muda.”

Tanpa berkata apa pun, aku berlalu dari ruangan yang mendadak terasa semakin dingin itu. Kami sedang mengenang suatu masa, yang mana aku dan dia tak lagi hidup di dalamnya dan itu tak terlalu menyenangkan bagiku.
Beranjak ke luar area gedung, di sana membentang luas padang rumput yang indah terawat. Kami disambut beberapa pohon bunga kertas aneka warna. Kemudian berjalan menuruni undakan anak tangga yang terbuat dari batu pipih yang tersusun rapi. Kerosak pohon pinus yang diterpa angin seolah saling berbisik, mungkin mereka mengingat kami.

Arya membawaku ke salah satu monumen ikonis lain di tempat itu.

“Batu hitam dengan ukiran lima pilar bangsa. Kelima pilar tersebut antara lain, petani, pemuka agama, tentara, pemuda, dan … kamu,” jelas Arya.

Dahiku mengerut. “Aku?”

Arya tertawa kecil. “Maksudku wanita … mereka saling berpegangan tangan, sebagai wujud kekuatan utama bangsa Indonesia.”

Sebenarnya ingatanku tentang tempat itu dan sejarah besar yang pernah terjadi di sana masih begitu tajam. Namun, aku lebih senang mendengarnya dari mulut guide bertubuh tegap itu. Ia masih tetap terlihat gagah walau uban mulai tumbuh subur di rambut juga janggut tipisnya.

“Ceritakan tentang dirimu. Kita sudah lama tak bertemu,” kataku.

“Cerita mana yang mau kamu dengar?”

“Yang mana saja.”

Kami berjalan lagi menyusuri jalan setapak yang membelah taman, menuju kembali ke arah museum.
“Dulu … kita menikah usia dua puluh lima, kemudian berpisah diwarnai aneka drama lima tahun berikutnya.” Arya mendengkus. “Dua tahun setelahnya aku menikahi seorang wanita. Dia kawan lama. Lalu tahun berikutnya Tuhan menganugerahi kami seorang putri. Beranjak remaja ia kini. Sebenarnya hari ini dia libur sekolah dan tak biasanya memaksa ikut ayahnya bekerja.”

Haruskah kukatakan bahwa untuk putrinyalah aku datang. Sepertinya Arya tidak mengetahui komunikasi yang terjalin di antara kami dan entah di mana gadis itu kini.

“Aku mencintai wanita yang telah memperantarainya lahir, tetapi ….” Arya memberi jeda, “berdosakah jika aku mengakui bahwa tetap ada lubang yang tak terisi.”

“Mungkin kamu hanya merasa bersalah … pada keadaan,” ucapku.

“Atau rindu dengan lain nama. Bisa jadi bukan?”

Eum, di mana wanita itu? Maksudku istrimu. Boleh aku bertemu?” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan. Walau bagaimanapun aku harus tetap pada kenyataan, bahwa kami tak lagi seperti yang dulu.
“Tidak bisa,” jawabnya singkat.

“Kenapa? Kamu takut dia marah jika tahu … aku adalah mantan istrimu?”

“Bukan. Sebab syarat untuk menemuinya terlalu berat.”

“Syarat?” Kedua alisku bertaut. “Syarat apa?”

“Kamu harus melepaskan nyawa, jika ingin bertemu dengannya,” ungkap Arya sambil berlalu.
Aku tertegun, berusaha mencerna perkataan lelaki itu. “Maksudmu?”

“Dia sudah mangkat meninggalkanku saat putrinya berusia tujuh minggu. Tuhan jelas lebih mencintainya daripada aku.”

“Maaf, aku … tidak tahu,” Lidahku kelu. Ayana tak pernah menceritakan hal itu padaku.
“Tak apa,” jawab Arya.

Kami berdiri di tepi kolam kecil yang terletak di belakang museum. Memandangi ikan koi yang berenang bebas di air yang sedikit keruh, diiringi gemiricik pancuran air yang terdengar syahdu.

“Dulu, Lord Killearn dari Inggris menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Saat Sutan Sjahrir dan yang lainnya memperjuangkan pengakuan de facto, atas kemerdekaan negara kita,” ungkap Arya.

“Sekarang Ayana yang akan menjadi mediator, dalam perundingan Linggarjati antara Ayah dan Ibu Dewi,” kata seorang gadis yang muncul dari balik pintu kaca. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja sedang menari bersama angin. Ia tersenyum dengan mata yang basah. Entah kenapa tiba-tiba rasanya aku sangat sekarat. Dadaku sesak dan hanya akan luruh dengan mendekap erat tubuhnya.

Arya tersenyum. “Itu Ayana, putri kami. Dia cantik seperti ibunya, tetapi mata dan senyum itu ia dapat dariku.”

Aku tidak akan protes, sebab hanya dari foto yang ia kirim pun aku sudah tahu. Gadis itu memang separuh dari diri Arya.

“Ayana minta maaf sudah lancang memaksa Ibu datang ke Kuningan,” ucapnya dengan derai air mata. “Ayah sangat marah saat Ayana menemukan banyak surat cinta yang Ayah tulis. Tapi, Ayana tidak cemburu walaupun Ayah menulis itu bukan untuk ibu.”

Ayana menghampiri kami. “Ayah selalu bilang mendiang ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Lalu bagaimana dengan kita di sini, Yah? Ayah dan Ayana juga harus bahagia bukan? Ayana ingin punya ibu,” lirih gadis itu.

Arya mengusap lembut rambut legam putri semata wayangnya. Pemandangan yang kian meruntuhkanku. Aku mungkin wanita yang tidak Tuhan gariskan melahirkan keturunan. Namun, percayalah batin dan rasaku tetap sama, selayaknya seorang ibu.

“Bertahun-tahun berlalu, aku tidak pernah punya keberanian untuk mencarimu, Wi. Ternyata Ayana yang menemukanmu kali ini,” kata Arya, suaranya bergetar.

“Bukan Ayah yang akan melamar Ibu Dewi kali ini. Tapi Ayana ….” Gadis itu bersimpuh berlutut menyodorkan beberapa tangkai bunga kertas, yang mungkin dipetiknya di halaman museum.

Aku melirik ke arah Arya yang tengah menyeka lelehan air di matanya.

“Aku tidak terlibat dalam rencana Ayana. Tapi percayalah aku akan mengatakan hal yang sama,” tuturnya.
“Bu,” panggil Ayana. “Maukah Bu Dewi menikah lagi dengan Ayah dan menjadi ibu Ayana.”

Aku meraih tubuhnya, menangkup wajah Ayana sementara wajahku sendiri telah dibanjiri air mata. Tatapan kami bertemu. Tak bisa lagi mengelak, demi Tuhan … aku jatuh cinta. Lebih dari saat dulu pertama kali aku jatuh hati pada ayahnya.

Kudekap gadis itu penuh haru. “Ibu mau. Iya, Ibu mau, Nak.”

Sejarah bisa saja terulang. Dulu, di gedung perundingan itu hanya sekali aku dan Arya bertemu. Lalu berlanjut pada komunikasi yang tanpa sadar mengikat hati, membulatkan tekad untuk mengikat janji suci. Lalu berpisah atas nama kebaikan. Sekarang, di tempat yang sama kami kembali bertemu. Dalam perundingan Linggarjati yang mempersatukan kembali cinta kami.

Selesai.


EmoticonEmoticon