Yang
pertama terlintas di benakku, saat menghirup udara sejuk khas pegunungan ini
adalah wajah seorang lelaki, yang pernah berkata bahwa kotanya diciptakan Tuhan
untuk menjadi miniatur surga. Berebut dengan berapa pasang paru-paru pun kau
tak akan kekurangan oksigen. Sebab rimbun pepohonan hijau senantiasa
menyediakannya. Melimpah ruah dan cuma-cuma, saat kota lain berlomba menanam
beton di atas tulang belulang manusia. Dari hulu Ciremai sungai-sungai mengalir
jernih, kilaunya bak manik mata bidadari. Juga kerlingan biji-biji padi yang
menguning di hamparan sawah petani, akan selalu membuatmu rindu ingin kembali.
Aku
tak percaya akan kembali ke sini. Sejenak rasanya sama seperti sedang menggali
kuburanku sendiri. Ya, aku pernah terkubur hidup-hidup di kota ini. Saat cinta
tak berkawan baik dengan prahara dan aku harus menua tanpanya. Bahkan rindu
bertalu-talu pun tak pernah memberiku nyali untuk sekadar mengintip masa lalu. Hingga
pada suatu hari, santun sapa seorang gadis jelita lewat layanan pesan Facebook, mengundangku untuk bertandang
ke kota yang pernah dengan sumpah serapah kutinggalkan itu. Beberapa hal
darinya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki yang pernah berkata bahwa kotanya
adalah miniatur surga dari Tuhan. Mungkin sebab dari separuh dirinyalah sang dara
tercipta.
Gadis
itu bernama Ayana, putri dari Arya. Seseorang dari masa lalu. Aku tak tahu pasti, dari mana ia
mengetahui sejarah lamaku dengan sang ayah. Namun, tentu saja aku senang bisa
mengenalnya.
Ayana
bercerita betapa sudah lama ia mencari. Walau hanya berbekal nama, foto lama dan
rasa yakin bahwa ia bisa menemukanku di dunia maya. Media tak bersekat yang
bisa membuat siapa pun terhubung satu sama lain. Terberkatilah teknologi, jika
saja wanita tua ini tak pernah tergoda untuk membuat akun jejaring sosial,
mungkin sampai kapan pun kami tak akan saling mengenal.
Dalam
obrolan kami yang panjang, gadis itu telah membuatku berjanji untuk menemuinya
di suatu tempat dan di sinilah aku sekarang. Gedung Perundingan Linggarjati. Bangunan
yang sekilas tampak seperti rumah tinggal kuno biasa, tetapi begitu kaya akan nilai
sejarah. Sekeping kisahku pun abadi bersamanya. Pelesiranku kali ini rasanya
seperti sebuah penziarahan.
Beberapa
langkah melewati pintu masuk, seorang perempuan penjual tiket menyambutku
dengan senyum ramah. Dua ribu rupiah, nominal yang teramat murah untuk sebuah
perjalanan berharga.
Tak
banyak yang berubah. Bingkai-bingkai kaca masih memeluk erat potret usang dari peristiwa-peristiwa
penting yang pernah berlangsung di tempat itu, pada masa silam. Rapi menempel
di dinding bercat putih tulang. Lampu gantung klasik bercabang lima yang
menjadi sumber penerangan, beberapa perabot keramik yang terlindung apik lemari
kaca, juga aneka furnitur berbahan kayu jati yang masih terlihat kokoh tak
termakan zaman. Seketika mampu memberi kesan seakan kita hidup pada hari yang
sama saat bangunan itu masih digunakan.
Melangkah
pelan kakiku di antara dua meja panjang dengan masing-masing empat kursi kayu
saling berhadapan, juga ditutupi taplak hijau tua khas pengadilan. Tempat yang dulunya
menjadi titik perundingan yang alot dan menegangkan.
Lalu
dari lorong kamar tidur delegasi, mata ini mendapati wajah yang amat kukenal sedang
berdiri di tengah kerumunan beberapa orang. Ia melihat ke arahku dengan sorot
mata yang entah. Telanjur sudah ditemukan, perjumpaan kami tak mungkin bisa
dihindari lagi. Aku hanya berharap bahwa itu bukan tatapan benci atau dendam
yang tersisa dari masa silam.
Setiap
langkah ia semakin mendekat, rasanya seperti jantungku akan loncat dari tulang
iga yang memagarinya. Sesaat kami hanya saling berbalas senyum tanpa sanggup berkata
apa pun. Situasi yang rasanya jauh lebih canggung dari pertemuan pertama kami dua
puluh tahun lalu.
“Ke
mana saja kamu, Wi? Setelah pulang ke rumah orang tuamu, kamu lupakan sama
sekali kota ini,” katanya, memecah kebekuan di antara kami.
“Jakarta
telah menawanku untuk tetap berada di sana. Bersama anak-anak didikku di sebuah
taman kanak-kanak.”
“Apa
betahnya tinggal di kota yang tak pernah tidur itu?”
“Setidaknya
aku tak harus tidur untuk memimpikan kamu,” celotehku. Ujung bibir lelaki itu
menyungging.
“Bagaimana
dengan dirimu?”
“Seperti
yang kamu lihat. Aku masih di sini, dengan profesiku yang dulu. Dinas Pariwisata
masih mempercayakanku untuk menjadi penyambung lidah sejarah.”
Dulu
lewat tangan lelaki itu bangunan tua ini pernah menghidupiku selama
bertahun-tahun. Diorama yang terkurung kaca bening adalah saksi kisah usang
tentang pengunjung yang jatuh cinta pada pemandu wisatanya. Museum itu masih
kokoh berdiri, walau kami telah pincang bahkan tak lagi berjalan sama sekali.
“Kamu
ke sini bersama … suamimu?” tanya Arya, sambil menemaniku menyusuri tiap sudut
museum sebagaimana memang tugasnya. Seperti masa lalu.
“Aku
sendirian.”
“Oh
iya, tentu saja. Suamimu pasti sedang sibuk bekerja.”
“Aku
… belum menikah lagi.”
Arya
tampak terkejut. “Benarkah? Kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya belum butuh pemandu yang lain,” selorohku.
Lelaki
itu kembali tersenyum dan aku tak ingin terlalu lama melihatnya. Sebab senyuman
itu yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.
“Pada
tahun seribu sembilan ratus delapan belas silam, di sini Tuhan mengutus ibu
Jasitem meletakkan batu pertama dalam wujud gubuk sederhananya. Hingga lalu
bangunan ini beberapa kali berganti wajah dan abadi dikenang dunia bersama
namanya.” Lelaki itu memberi jeda. “Kita tetap bisa menikmati sejarah, tanpa
harus kembali merasakan pahit getirnya.”
Raut
wajah Arya berubah. Binar matanya seolah mengajakku untuk mengingat pertengkaran
yang dulu seolah tak pernah menemui jemu. Segala apa pun pada akhirnya
menggiring kami pada syak wasangka dan adu mulut yang begitu membosankan. Juga
malam-malam yang dinginnya seakan merobek kulit dan menusuk tulang, tak ada
dekap saling menghangatkan seperti gelora awal pernikahan. Kami saling
memunggungi, memendam bara yang hanya diketahui oleh sendiri-sendiri. Sejenak
aku memejamkan mata, menghalau segala kenangan itu berkelebatan di sana. Aku
tak punya banyak energi untuk mengingat masa itu kembali.
“Lihatlah,
Wi!” Arya menunjuk cermin besar yang terletak pada sudut ruang makan yang baru
saja kami masuki.
Aku
tersenyum memandang bayangan kami pada pantulan benda bening itu. “Ada yang
salah dengan cerminnya. Bagaimana bisa aku tampak tua di sana.”
“Dua
orang tua dalam cermin itu pernah begitu menikmati cinta yang menggebu, tetapi
harus kalah dalam ujiannya yang hanya sebutir debu,” lirih Arya.
“Aku
tak bisa memberimu keturunan. Itu bukanlah ujian yang hanya sebutir debu.”
Dia
menghela napas. “Aku yang terlalu sempit memaknai arti bahagia, dengan harus
adanya anak dalam pernikahan kita. Mungkin sebab dulu kita masih terlalu muda.”
Tanpa berkata apa pun, aku berlalu dari
ruangan yang mendadak terasa semakin dingin itu. Kami sedang mengenang suatu
masa, yang mana aku dan dia tak lagi hidup di dalamnya dan itu tak terlalu menyenangkan
bagiku.
…
Beranjak ke luar area gedung, di sana membentang
luas padang rumput yang indah terawat. Kami disambut beberapa pohon bunga
kertas aneka warna. Kemudian berjalan menuruni undakan anak tangga yang terbuat
dari batu pipih yang tersusun rapi. Kerosak pohon pinus yang diterpa angin
seolah saling berbisik, mungkin mereka mengingat kami.
Arya membawaku ke salah satu monumen ikonis
lain di tempat itu.
“Batu hitam dengan ukiran lima pilar
bangsa. Kelima pilar tersebut antara lain, petani, pemuka agama, tentara,
pemuda, dan … kamu,” jelas Arya.
Dahiku mengerut. “Aku?”
Arya tertawa kecil. “Maksudku wanita … mereka
saling berpegangan tangan, sebagai wujud kekuatan utama bangsa Indonesia.”
Sebenarnya ingatanku tentang tempat itu
dan sejarah besar yang pernah terjadi di sana masih begitu tajam. Namun, aku
lebih senang mendengarnya dari mulut guide
bertubuh tegap itu. Ia masih tetap terlihat gagah walau uban mulai tumbuh subur
di rambut juga janggut tipisnya.
“Ceritakan
tentang dirimu. Kita sudah lama tak bertemu,” kataku.
“Cerita
mana yang mau kamu dengar?”
“Yang
mana saja.”
Kami
berjalan lagi menyusuri jalan setapak yang membelah taman, menuju kembali ke
arah museum.
“Dulu
… kita menikah usia dua puluh lima, kemudian berpisah diwarnai aneka drama lima
tahun berikutnya.” Arya mendengkus. “Dua tahun setelahnya aku menikahi seorang
wanita. Dia kawan lama. Lalu tahun berikutnya Tuhan menganugerahi kami seorang putri.
Beranjak remaja ia kini. Sebenarnya hari ini dia libur sekolah dan tak biasanya
memaksa ikut ayahnya bekerja.”
Haruskah
kukatakan bahwa untuk putrinyalah aku datang. Sepertinya Arya tidak mengetahui
komunikasi yang terjalin di antara kami dan entah di mana gadis itu kini.
“Aku
mencintai wanita yang telah memperantarainya lahir, tetapi ….” Arya memberi
jeda, “berdosakah jika aku mengakui bahwa tetap ada lubang yang tak terisi.”
“Mungkin
kamu hanya merasa bersalah … pada keadaan,” ucapku.
“Atau
rindu dengan lain nama. Bisa jadi bukan?”
“Eum, di mana wanita itu? Maksudku istrimu.
Boleh aku bertemu?” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan. Walau bagaimanapun aku
harus tetap pada kenyataan, bahwa kami tak lagi seperti yang dulu.
“Tidak
bisa,” jawabnya singkat.
“Kenapa?
Kamu takut dia marah jika tahu … aku adalah mantan istrimu?”
“Bukan.
Sebab syarat untuk menemuinya terlalu berat.”
“Syarat?”
Kedua alisku bertaut. “Syarat apa?”
“Kamu
harus melepaskan nyawa, jika ingin bertemu dengannya,” ungkap Arya sambil
berlalu.
Aku
tertegun, berusaha mencerna perkataan lelaki itu. “Maksudmu?”
“Dia
sudah mangkat meninggalkanku saat putrinya berusia tujuh minggu. Tuhan jelas
lebih mencintainya daripada aku.”
“Maaf,
aku … tidak tahu,” Lidahku kelu. Ayana tak pernah menceritakan hal itu padaku.
“Tak
apa,” jawab Arya.
Kami
berdiri di tepi kolam kecil yang terletak di belakang museum. Memandangi ikan
koi yang berenang bebas di air yang sedikit keruh, diiringi gemiricik pancuran
air yang terdengar syahdu.
“Dulu, Lord Killearn dari Inggris
menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Saat Sutan Sjahrir dan yang
lainnya memperjuangkan pengakuan de facto, atas kemerdekaan negara kita,”
ungkap Arya.
“Sekarang Ayana yang akan menjadi
mediator, dalam perundingan Linggarjati antara Ayah dan Ibu Dewi,” kata seorang
gadis yang muncul dari balik pintu kaca. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai
begitu saja sedang menari bersama angin. Ia tersenyum dengan mata yang basah.
Entah kenapa tiba-tiba rasanya aku sangat sekarat. Dadaku sesak dan hanya akan
luruh dengan mendekap erat tubuhnya.
Arya tersenyum. “Itu Ayana, putri kami.
Dia cantik seperti ibunya, tetapi mata dan senyum itu ia dapat dariku.”
Aku tidak akan protes, sebab hanya dari
foto yang ia kirim pun aku sudah tahu. Gadis itu memang separuh dari diri Arya.
“Ayana minta maaf sudah lancang memaksa
Ibu datang ke Kuningan,” ucapnya dengan derai air mata. “Ayah sangat marah saat
Ayana menemukan banyak surat cinta yang Ayah tulis. Tapi, Ayana tidak cemburu walaupun
Ayah menulis itu bukan untuk ibu.”
Ayana menghampiri kami. “Ayah selalu
bilang mendiang ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Lalu bagaimana dengan kita di
sini, Yah? Ayah dan Ayana juga harus bahagia bukan? Ayana ingin punya ibu,”
lirih gadis itu.
Arya mengusap lembut rambut legam putri
semata wayangnya. Pemandangan yang kian meruntuhkanku. Aku mungkin wanita yang
tidak Tuhan gariskan melahirkan keturunan. Namun, percayalah batin dan rasaku
tetap sama, selayaknya seorang ibu.
“Bertahun-tahun berlalu, aku tidak
pernah punya keberanian untuk mencarimu, Wi. Ternyata Ayana yang menemukanmu
kali ini,” kata Arya, suaranya bergetar.
“Bukan Ayah yang akan melamar Ibu Dewi
kali ini. Tapi Ayana ….” Gadis itu bersimpuh berlutut menyodorkan beberapa
tangkai bunga kertas, yang mungkin dipetiknya di halaman museum.
Aku melirik ke arah Arya yang tengah
menyeka lelehan air di matanya.
“Aku tidak terlibat dalam rencana Ayana.
Tapi percayalah aku akan mengatakan hal yang sama,” tuturnya.
“Bu,” panggil Ayana. “Maukah Bu Dewi
menikah lagi dengan Ayah dan menjadi ibu Ayana.”
Aku meraih tubuhnya, menangkup wajah
Ayana sementara wajahku sendiri telah dibanjiri air mata. Tatapan kami bertemu.
Tak bisa lagi mengelak, demi Tuhan … aku jatuh cinta. Lebih dari saat dulu
pertama kali aku jatuh hati pada ayahnya.
Kudekap gadis itu penuh haru. “Ibu mau.
Iya, Ibu mau, Nak.”
Sejarah bisa saja terulang. Dulu, di
gedung perundingan itu hanya sekali aku dan Arya bertemu. Lalu berlanjut pada
komunikasi yang tanpa sadar mengikat hati, membulatkan tekad untuk mengikat
janji suci. Lalu berpisah atas nama kebaikan. Sekarang, di tempat yang sama
kami kembali bertemu. Dalam perundingan Linggarjati yang mempersatukan kembali
cinta kami.
Selesai.
EmoticonEmoticon