iklan banner

Senin, 03 Juni 2019

JURNAL NOKTURNAL



Seandainya kita tak punya banyak waktu untuk tertawa.

Ini adalah senyumku yang paripurna. Ingatkah malam-malam sepi yang menggelitik geli? Atau lelucon yang kerap mengundang jijik, hampir tak pernah basi.

Kau pasrah tertawa dan aku selalu menang dalam peperangan kata kita. Tanpa senjata.

Masa yang terlewatkan. Kemudian, entah bagaimana tetiba aku terlempar kembali padanya. Terdiam. Setelah kemenangan telakku pada setiap adu argument yang menjengkelkan itu, di titik ini aku menemui kalah. Sekalah-kalahnya seseorang yang pernah kalah.

Ada titik air serupa embun jatuh di sudut mataku. Adalah hal yang paling menyebalkan saat aku mulai menyadari sebagian dari diriku telah tercuri. Lancang sekali! Aku yang lemah, atau ... memang kaulah jelma rumah.

Tiba-tiba saja kau tersenyum di ujung jalan, sendiri, dan seketika aku hanya ingin berlari. Menjauh. Sebagai seorang yang sekarat menepis hasrat. Aku membutuhkanmu. Betapa jengah mengakui itu.

Katakan, candu apa yang diam-diam kau tuang? Bagaimana bisa, seketika kita adalah dua sunyi yang saling menemukan. Sementara, aku merasa kau akan hilang. Hingga tiba masa tak ada lagi pembicaraan kita yang menyenangkan.

Aku ragu, bahkan saat itu dirimu masih dalam sudi sekadar menyebutku teman. Bukankah sebaik-baiknya jika debar ini kupadamkan?

Maka, seandainya kita tak punya banyak waktu untuk tertawa.

Ini malam aku hanya ingin menitip rasa terima kasih saja. Kau sudah datang, singgah di hidupku yang membosankan. Walau entah dengan apa tujuan.



Memori, 03 Juni 2019.

Rine Nopianti.


EmoticonEmoticon