iklan banner

Jumat, 19 Juli 2019

SURAT CINTA AYAH





Oleh: Rine Nopianti.

"Heh, keriting ... rambut singa, ble ... ble ... bleh."
Aku tak yakin kita punya kenangan masa kanak-kanak yang indah, Bu. Setiap hari, bertemu denganku mungkin jadi bencana bagimu. Sering kau menangis karena ulah lidah dan tangan jahilku ini. Entah, aku sangat suka menggodamu.
Rambut keritingmu yang tampak mengembang seperti surai singa saat itu selalu jadi senjataku, untuk mengganggumu. Lalu berlari kau pulang, meraung-raung, mengadu pada bapakmu. Untungnya beliau tak menolak lamaranku. Manakala kita sama-sama tumbuh dewasa, musuh bebuyutan masa kanak-kanak itu jatuh berlutut pada cinta. Berkibar bendera putih di dadaku, kita meninggikan janur kuning di depan rumahmu.
"Kamu yakin? Dari kecil kita main sama-sama, tumbuh dewasa bersama. Sekarang kamu juga ingin kita menua bersama? Bosen aku, Mas," kelakarmu saat kuajak kau ke penghulu.
Pada akhirnya kita menikah. Kau berhasil memaksaku. Baiklah, salah, aku yang memaksamu. Semoga kau tak pernah terpaksa. Karena menikahimu aku tak mendapatkan seorang istri. Ya, bukan seorang istri semata. Namun, sekaligus seorang kawan, seorang adik, bahkan terkadang kau juga jadi teman bertengkar. Bukankah seperti itu cinta? Selalu ingin menjadi segalanya.
Aku harus berterimakasih padamu atas tahun-tahun yang luar biasa. Kita adalah tim yang sempurna, meski kadang kita kerap sembunyikan getir di balik pintu rumah kita yang sederhana. Hidup benar-benar ingin kita belajar ya, Bu. Namun, kau tetap di sini, kasihmu tak pernah menyerah padaku. Malah aku yang pergi, meninggalkanmu lebih dulu. Dengan angkuh kau berkata, kau akan mampu meski harus tanpaku lagi. Padahal di belakangku kau menangis tersedu. Bengkak matamu ditinju derasnya air mata. Kita sudah berusaha menepati janji untuk tua bersama, tetapi pada akhirnya kita harus menyerah. Tuhan yang Maha Berkuasa.
Ini adalah tahun ke sepuluh sejak kepergianku. Itu artinya, ini pun surat ke sepuluh yang kau baca. Bu, aku yakin rambut-rambut putih mulai tumbuh di kepalamu. Akan tetapi, aku juga percaya kau tetap cantik dengan keriput halus di wajahmu itu. Dengar, Bu. Aku rindu. Entah ada di mana aku saat kaubaca surat ini. Di surga ataukah neraka pada akhirnya aku abadi. Sejak aku bernama mayat, kita terpisahkan maut yang lebih dulu datang mencintaiku. Meski bebas dari sakit yang kuderita, setelah nyawaku tiada aku dan kau tersiksa oleh pedih rindu yang sama. Setidaknya, aku telah sempat mencicipi kopi yang kausuguhkan di setiap pagiku di dunia. Menyadari maut bisa saja merenggutku darimu sewaktu-waktu, maka pada malam itu kutuliskan lembar-lembar surat untuk kaubaca dari waktu ke waktu. Mengenangku, meredakan rindu. Sesungguhnya aku tak rela jika kau melupakan aku.
Bu, sampai bertemu. Kau akan mengembuskan napas terakhirmu sebagai wanita tua, di atas tempat tidurmu yang hangat. Apa aku sudah benar menirukan tokoh Jack di film favoritmu Titanic itu?





Bapak.

***

Kuhela napas panjang. "Selesai, Bu."

"Bapak kamu itu, Nak. Ah, dia itu ...," isak Ibu. Kuhapus air mata yang masih sama derasnya, seperti hari di mana Ayah meninggalkan kami untuk selamanya.

Ayah benar, pada akhirnya kami harus menyerah pada garis Tuhan. Kami sudah berusaha, Ayah pun sudah berjuang melawan sakitnya.

"Ibu rindu Ayah, ya? Ibu ingat tidak? Dulu waktu kami masih kecil, Ibu selalu bilang jika kami rindu Ayah, maka ...." Sengaja tak kulanjutkan kalimatku, agar Ibu yang melengkapinya.

"Maka pejamkan mata,” ucapnya. Kami semua menutup mata. “Lalu berdoa untuk Ayah, semoga di sana disayang oleh Tuhan. Katakan pada Tuhan, kami rindu Ayah."

"Kami rindu Ayah," timpal Adikku.

Kemudian saling berpelukanlah kami bertiga, dalam satu isak tangis dan sesak rindu yang sama gebunya. Kami senantiasa membalas surat-surat cinta yang Ayah tuliskan dengan untaian doa.


Cirebon, 19 Juli 2019.


EmoticonEmoticon