Oleh: Rine Nopianti.
"Heh, keriting
... rambut singa, ble ... ble ... bleh."
Aku tak yakin kita
punya kenangan masa kanak-kanak yang indah, Bu. Setiap hari, bertemu denganku
mungkin jadi bencana bagimu. Sering kau menangis karena ulah lidah dan tangan
jahilku ini. Entah, aku sangat suka menggodamu.
Rambut keritingmu
yang tampak mengembang seperti surai singa saat itu selalu jadi senjataku,
untuk mengganggumu. Lalu berlari kau pulang, meraung-raung, mengadu pada
bapakmu. Untungnya beliau tak menolak lamaranku. Manakala kita sama-sama tumbuh
dewasa, musuh bebuyutan masa kanak-kanak itu jatuh berlutut pada cinta.
Berkibar bendera putih di dadaku, kita meninggikan janur kuning di depan
rumahmu.
"Kamu yakin?
Dari kecil kita main sama-sama, tumbuh dewasa bersama. Sekarang kamu juga ingin
kita menua bersama? Bosen aku, Mas," kelakarmu saat kuajak kau ke
penghulu.
Pada akhirnya kita
menikah. Kau berhasil memaksaku. Baiklah, salah, aku yang memaksamu. Semoga kau
tak pernah terpaksa. Karena menikahimu aku tak mendapatkan seorang istri. Ya,
bukan seorang istri semata. Namun, sekaligus seorang kawan, seorang adik,
bahkan terkadang kau juga jadi teman bertengkar. Bukankah seperti itu cinta? Selalu
ingin menjadi segalanya.
Aku harus
berterimakasih padamu atas tahun-tahun yang luar biasa. Kita adalah tim yang
sempurna, meski kadang kita kerap sembunyikan getir di balik pintu rumah kita
yang sederhana. Hidup benar-benar ingin kita belajar ya, Bu. Namun, kau tetap di
sini, kasihmu tak pernah menyerah padaku. Malah aku yang pergi, meninggalkanmu
lebih dulu. Dengan angkuh kau berkata, kau akan mampu meski harus tanpaku lagi.
Padahal di belakangku kau menangis tersedu. Bengkak matamu ditinju derasnya air
mata. Kita sudah berusaha menepati janji untuk tua bersama, tetapi pada
akhirnya kita harus menyerah. Tuhan yang Maha Berkuasa.
Ini adalah tahun ke
sepuluh sejak kepergianku. Itu artinya, ini pun surat ke sepuluh yang kau baca.
Bu, aku yakin rambut-rambut putih mulai tumbuh di kepalamu. Akan tetapi, aku
juga percaya kau tetap cantik dengan keriput halus di wajahmu itu. Dengar, Bu.
Aku rindu. Entah ada di mana aku saat kaubaca surat ini. Di surga ataukah
neraka pada akhirnya aku abadi. Sejak aku bernama mayat, kita terpisahkan maut
yang lebih dulu datang mencintaiku. Meski bebas dari sakit yang kuderita,
setelah nyawaku tiada aku dan kau tersiksa oleh pedih rindu yang sama. Setidaknya,
aku telah sempat mencicipi kopi yang kausuguhkan di setiap pagiku di dunia.
Menyadari maut bisa saja merenggutku darimu sewaktu-waktu, maka pada malam itu
kutuliskan lembar-lembar surat untuk kaubaca dari waktu ke waktu. Mengenangku,
meredakan rindu. Sesungguhnya aku tak rela jika kau melupakan aku.
Bu, sampai bertemu.
Kau akan mengembuskan napas terakhirmu sebagai wanita tua, di atas tempat
tidurmu yang hangat. Apa aku sudah benar menirukan tokoh Jack di film favoritmu
Titanic itu?
Bapak.
***
Kuhela napas panjang. "Selesai, Bu."
"Bapak kamu itu, Nak. Ah, dia itu ...,"
isak Ibu. Kuhapus air mata yang masih sama derasnya, seperti hari di mana Ayah
meninggalkan kami untuk selamanya.
Ayah benar, pada akhirnya kami harus menyerah pada
garis Tuhan. Kami sudah berusaha, Ayah pun sudah berjuang melawan sakitnya.
"Ibu rindu Ayah, ya? Ibu ingat tidak? Dulu
waktu kami masih kecil, Ibu selalu bilang jika kami rindu Ayah, maka ...."
Sengaja tak kulanjutkan kalimatku, agar Ibu yang melengkapinya.
"Maka pejamkan mata,” ucapnya. Kami semua
menutup mata. “Lalu berdoa untuk Ayah, semoga di sana disayang oleh Tuhan.
Katakan pada Tuhan, kami rindu Ayah."
"Kami rindu Ayah," timpal Adikku.
Kemudian saling berpelukanlah kami bertiga, dalam
satu isak tangis dan sesak rindu yang sama gebunya. Kami senantiasa membalas
surat-surat cinta yang Ayah tuliskan dengan untaian doa.
Cirebon, 19 Juli 2019.
EmoticonEmoticon