iklan banner

Senin, 07 Januari 2019

MELAMAR


...
Malam itu aku pergi dengan terburu-buru. Adalah hal lumrah jika aku datang terlambat dari waktu yang dijanjikan, tetapi kali ini Marni pasti akan marah. Cukup lama kami tak bertemu, ini saatnya membayar lunas rindu.

Duduk berdebar di dalam taksi yang melaju. Beberapa kali aku melirik wajah sendiri di kaca persegi panjang yang tertempel di bagian atas mobil. Terngiang lagi bagaimana beberapa waktu lalu berulang kali wanita berlesung pipi itu meminta kepastianku. Hubungan kami telah cukup lama terjalin.

"Nikahi aku segera kalau kamu serius, Mas," ucapnya di kencan terakhir kami waktu itu.

Kemarin aku adalah laki-laki yang takut untuk berkomitmen. Ketidaksiapan merantai langkahku untuk bahagia dan membahagiakan wanitaku. Namun, tidak kali ini.

Berhenti di sebuah taman, tempat yang acap kali menjadi titik pertemuan. Pada sebuah bangku panjang Marni duduk menungguku seperti biasa.

Debar tak keruan. Semoga aku tak akan lupa kalimat yang sudah aku persiapkan sebelum berangkat menemuinya.

"Sayang," sapaku.

Marni mendengus kesal, "Jam berapa ini, Mas?"

"Maaf, Sayang. Tadi-"

"Macet? Atau lupa kita janjian jam berapa?" sela Marni.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, kemudian duduk di sisi lain bangku panjang.
"Kok, sepi ya, Sayang?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana.

"Iyalah, udah malam," jawabnya masih dengan memalingkan wajah. Marah. Bibir ranumnya mengerucut di antara dua pipi gembil, menggemaskan.

"Sayang. Mas mau katakan sesuatu," ucapku seraya menggenggam jemari tangannya yang lentik.
"Apa?" ketusnya.

Aku menghela napas panjang, mengumpulkan segenap keberanian, "M-maukah kamu menikah denganku?"

Marni menoleh. Matanya tak lepas menatapku, mungkin tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Mas. Kamu-"

"Mau nggak? Kalau nggak ya sudah Mas pulang," selorohku.

Marni berdecak, lalu sejurus kemudian memelukku erat.

"Aku mau," bisik Marni. Kubelai rambut panjangnya yang tergerai. Lega, niatku tersampaikan.

"Mas punya sesuatu," kataku sambil merogoh saku baju.

"Apa, Mas?" Marni penasaran.

Di hadapannya kubuka sebuah kotak kecil berbentuk hati berwarna merah, berisikan cincin bermata jeli. Hasil kerja kerasku selama ini.

Marni menutup mulut dengan kedua tangan. Lapisan kaca segera membayang di mata sayunya.
"Ini nggak seberapa, tapi semoga kamu suka. Mas pakaikan ya?"

Marni mengangguk. Kuraih tangan kiri wanitaku, lantas dengan sedikit gemetar menyematkan cincin tanda cinta di jari manisnya.

"Kamu suka?" tanyaku.

Marni bergeming. Wajahnya berubah, rona bahagia tak lagi terpancar di sana.
"Kenapa, Sayang? Kamu nggak suka sama cincinnya?"

Marni memutar tubuhnya membelakangiku, "Cincinnya jelek. Dia menembus jari tanganku, Mas."

Aku membisu, menunduk menatap cincin yang tergeletak di atas bangku. Sesal kembali menghujam jantung tiada ampun.

"Maaf, Sayang. Andai malam itu Mas tak datang terlambat menemuimu di sini. Kamu mungkin tak akan terbunuh oleh penjahat-penjahat itu," isakku.

Marni menangis lirih dengan darah mengucur di sekujur tubuhnya.

Cirebon, 14 Desember 2018.

Penulis: Rine Nopianti.


EmoticonEmoticon