iklan banner

Kamis, 20 Desember 2018

Romansa Bertetangga


Kata bijak mengatakan hidup hanya sebentar. Iya, sebentar-sebentar diomongin tetangga. Sejak gadis, hingga kini aku telah menjadi Nyonya si Tuan Rambut Klimis. Bisik-bisik tetangga tetap saja terdengar sadis. Miris.

Dulu, ada yang menyebutku perawan tua. Padahal usia baru kepala dua. Ada juga yang membandingkan dengan anaknya yang masih usia belasan, tapi sudah dua kali naik pelaminan.

Sudah kupasang tembok tebal, tetapi bisik-bisik tetangga tetap saja merembes di indera pendengaran. Lupa tak pakai No Drop rupanya. Ianya menusuk tepat di jantung. Nyesek.

Bosan sungguh menjadi tajuk utama rumpi emak-emak bangsa yang berjajar rapi di teras rumahnya, sembari ngemil kutu dari rambut satu sama lain. Konon, penambah protein juga peningkat kadar hemoglobin.

Hingga pada suatu ketika datang seorang pria jantan bertandang. Semua mata tertuju padaku, manakala rombongan datang mengetuk pintu.

“Assalamualaikum, Ibu-ibu,” sapaku seraya melambaikan tangan. Memamerkan cincin bermata jeli yang melingkar di jari manis. Mereka tersenyum sinis.

Untuk sesaat terbebas dari polusi suara, cuap-cuap manja para tetangga. Mereka kehilangan bahan gosip. Entah mungkin telah menemukan korban baru untuk hidupnya dikuliti habis.

Lalu semua berubah saat Negara Api menyerang. Sebab tak berselang lama kemudian kami menyebar undangan, mereka bilang aku kebobolan. Padahal jika pun bermain sepak bola posisiku itu bukan sebagai kiper atau penyerang. Akan tetapi di luar lapangan. Duduk manis bersuara lantang, menyalahkan wasit, menyoraki pemain, memprotes regulasi. Padahal kalau disuruh merumput, baru lari seperdelapan lapangan saja sudah ngos-ngosan.

Namun, pada akhirnya aku bisa bernapas lega. Walau sempat diterjang badai Katrina yang berasal dari mulut tetangga, aku dan suami bisa bersatu dalam ikatan suci. Kami pun hidup bahagia, untuk selama-lamanya.

Eh, ceritanya belum tamat. Sini, kembali merapat.

Pagi hari saat asap mengepul dari cangkir-cangkir kopi. Lantang terdengar suara abang tukang sayur memanggil. Serempak kami, para ibu rumah tangga keluar dari balik pintu rumah dengan kostum masing-masing. Ada yang mengenakan daster merk artis, ada yang berbalut sarung garis-garis. Namun, ada juga yang tak memakai sehelai benang pun, hingga bulu-bulunya terpampang nyata. Kucing peliharaan salah satu tetangga maksudnya.

Mulai dari krisis dunia, hingga artis yang mendua. Beralih topik ke kabar politik, lalu ujung-ujungnya membicarakan orang yang tak ada. Sudah biasa.

“Kok, belum isi, Neng Lastri?” tanya Bu Saroh seraya memilah-milah sayuran di atas gerobak.

“Punya anak itu jangan ditunda-tunda, masa rezeki ditolak,” timpal Bu Minah seraya mengangkat kedua alis celuritnya.

“Anak saya loh, Ibu-ibu, lagi hamil anak kedua. Seumuran ‘kan ya sama Lastri usianya?” sahut Bu Joko.

Serempak mereka menjawab, “Duh, beruntung anaknya subur ya, Bu Joko.”

Aku hanya bisa tersenyum getir sambil meremas daun kangkung. Sayurannya yang kuremas-remas, tukang sayurnya yang meringis, menatap sambil menangis. Kurang greget gimana coba situasi kala itu.

Usia pernikahanku baru menginjak bulan ketiga, tapi para tetangga sudah menuding kami mandul hanya karena belum adanya buah hati.

“Kenapa?” tanya Suami saat aku pulang dengan wajah berminyak dan bertekuk tak ubahnya bungkus gorengan kemarin sore.

“Di tukang sayur tadi ibu-ibunya nyindir terus. Gara-gara kita belum punya anak,” rengekku.

“Habis dari tukang sayur? Sayurannya mana?” Suami celingukan melihat tanganku yang kosong.

“Tadi beli kangkung, tapi aku petikkin sepanjang jalan. Kesal.”

Suamiku tepuk jidat, aku tepuk Pramuka, “Sudah, jangan dengarkan kata orang. Kamu ‘kan kalau badmood jadinya makan terus. Nanti gendut.”

Aku jadi terngiang saat kumpul arisan kompleks tiga bulan ke belakang.

“Jadi perempuan harus pintar jaga badan. Jangan sampai baru punya anak satu badan udah melar, nanti suaminya direbut orang. Apalagi kalau yang belum punya anak, tapi sebadan isinya cuma lemak,” kata Bu Joko, matanya melirik tajam ke arahku.

Saat itu aku baru benar-benar percaya bahwa gajah di pelupuk mata bisa tak tampak. Aku memang merasa akhir-akhir ini berat badanku meningkat. Ada gumpalan bakpao empuk mengembang di kedua pipi, yang kerap jadi kegemasan suami. Namun, tetap saja dibandingkan denganku tubuh mereka dua kali lipat. Bukan, bukan … tapi berlipat-lipat. Mereka saling terkekeh, terpaksa aku turut haha hehe.

Perkataan Bu Joko saat itu cukup menghantui. Kata orang, rumput tetangga akan terlihat lebih hijau. Namun, aku sedikit berlega hati. Pasalnya kanan dan kiri rumah tetanggaku sudah memasang paving block. Akan tetapi gusarku tak berhenti. Bagaimana dengan tetangga depan? Tetangga belakang? Atau yang rumahnya di sebelah timur laut dan barat daya hunian kami?

Sejak masa itu aku bertekad untuk diet. Memutuskan untuk sementara tak mengkonsumsi nasi, agar tubuhku kembali seksi. Sebagai gantinya aku hanya makan lima lontong di pagi hari, lanjut kupat tahu saat makan siang, juga bakso untuk makan malam.

Alhasil, aku sukses menginap di rumah sakit selama dua minggu. Sepertinya lambungku merindukan nasi. Benar kata Dilan, rindu itu berat. Tubuhku sekarat.

Selalu ada hikmah pada setiap kejadian. Sakitku berhasil membantu menurunkan berat badan. Dengan penuh percaya diri, tukang sayur yang sedang dikerubungi emak-emak bangsa kuhampiri.

Aku telah sehat kembali, juga sudah sangat siap mendengar para tetangga memuji bentuk tubuh idealku kini.

“Ya ampun, Lastri. Kok, kamu kurus sekali? Kamu nggak bahagia hidup sama suami?” celetuk Bu Saroh.

“Apa uang dapurmu kurang? Atau jangan-jangan suamimu kurang perhatian, ya?” Bu Minah menimpali.

Dadaku seketika sesak. Mataku bergerak-gerak cepat mencari apa yang bisa kupakai sebagai pelampiasan emosi.

Namun, secepat kilat abang tukang sayur merentangkan tangan, melindungi barang dagangannya dengan wajah memelas, “Tolong, cukup kangkung saya saja yang waktu itu menjadi korban.”

Akhirnya aku pulang tanpa dendam.

Seperti buah simalakama. Tetangga adalah kerabat terdekat, orang yang tercepat akan membantu saat tertimpa musibah. Walau tak jarang, ada saja tetangga yang justru membuat susah.

Kala senja aku pulang untuk melarung letih, penat setelah bekerja sepanjang hari.

Peluh mengucur di dahi, tiba-tiba Bu Saroh yang tinggalnya di depan rumah kami menyahut di balik pagar besi, “Eh, Lastri baru pulang kerja ya?”

“Iya, Bu,” jawabku dengan senyum manis.

“Udah nikah kok masih kerja? Berapa sih gaji suaminya?”

Aku berdengus, “Ya, Alhamdulillah, Bu! Cukuplah buat bulan depan beli mobil baru,” ketusku.

Ujung bibir Bu Saroh menyungging, sambil meraih ponsel di saku dasternya ia berbalik.

“Halo, Papi, pokoknya Mami mau mobil baru,” ucapnya seraya berlalu.

Setelah memasuki rumah, aku bersungut-sungut seraya menjatuhkan tubuh ke atas sofa.

"Ada apa lagi? Pulang-pulang cemberut," tanya Suamiku.

"Tetanggamu itu loh. Apa-apa ditanyai. Memangnya salah kalau udah nikah aku masih kerja? Pakai acara tanya gajimu berapa," rutukku.

“Jangan terlalu dipikir. Kalau ada orang yang ngiri, kita nganan aja. Jangan ikutan ngiri nanti malah tabrakan,” kelakar Suamiku lalu terkekeh.

Cirebon, 06 Desember 2018.


EmoticonEmoticon