Api
lilin meliuk-liuk beralaskan piring kecil di atas nakas. Sudah separuhnya
meleleh, tetapi listrik belum juga menyala.
Sementara di luar gaduh petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya
silih berganti menghiasi langit malam. Menembus tirai.
Di salah satu ruang kamar sebuah
panti asuhan, dua orang gadis tengah duduk menggelar tikar di atas lantai.
Dalam temaram cahaya lilin mereka bertukar cerita.
“Secara bergantian mereka menikam
tubuh ibuku. Tak peduli ia menjerit, hingga suaranya tak terdengar lagi. Lalu
salah satu dari mereka memotong urat nadi ayahku. Membuat sedemikian rupa
hingga orang-orang mengira ayahlah yang membunuh Ibu, kemudian mengakhiri
hidupnya sendiri,” ungkap Anggit.
“Kamu melihat semuanya?” tanya
Terry.
“Aku bersembunyi di dalam lemari
kayu setinggi kurang dari satu meter, yang terletak di ruang kelurga rumah
kami. Tempat di mana paman dan bibi-bibiku berbuat keji. Aku mengintip dari
sela-sela pintunya dengan tubuh gemetar, juga tangis yang tertahan.”
“Selain dari saudara-saudara orang
tuamu yang telah membunuh mereka, kamu masih punya keluarga ‘kan, Git? Kenapa
kamu tidak menceritakan semuanya.”
Ujung bibir Anggit menyungging, “Tak
ada yang percaya padaku, Ter. Bahkan nenekku pun hanya diam saat memergoki
perbuatan anak-anaknya yang lain. Membiarkan kedua orang tuaku sekarat, lalu mereka
memalsukan penyebab kematian ayah dan ibuku.”
Terry menyentuh bahu Anggit.
Penghuni baru panti asuhan yang menjadi teman sekamarnya sejak seminggu yang
lalu. Usia Anggit lima belas tahun, satu tahun lebih muda dibandingkan dengan
Terry yang belum lama berulang tahun yang ke enam belas.
“Aku turut bersedih, Git. Kenapa ya,
ada orang sejahat mereka yang bisa menyakiti saudaranya sendiri,” keluh Terry.
Anggit bangkit berjalan menuju
jendela kamar, kemudian membuka tirainya. Gadis itu melempar tatap pada
cakrawala gulita, menerobos tetesan air yang tak terhingga memenuhi permukaan
kaca, “Aku tidak pernah bisa mengerti
pemikiran orang dewasa.”
“Seminggu sebelumnya, aku mendengar
Ayah dan saudara-saudaranya berbicara dengan suara lantang di meja makan.
Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena saat itu Ibu segera
membawaku ke dalam kamar.” Anggit memberi jeda, “Seminggu setelah kematian
kedua orang tuaku, paman merobek-robek sebuah kertas yang sebelumnya Nenek
berikan pada Ayah dan Ibu. Mereka menyebut kata warisan.”
Seketika Terry menutup telinga
dengan kedua tangannya saat guruh menggelegar. Sementara Anggit bergeming tak selangkah
pun beranjak dari tempatnya.
“Lalu, bagaimana selanjutnya kamu
bisa di bawa ke sini?” selidik Terry.
Setelah menutup kembali tirai Anggit
beranjak duduk di tempatnya semula, di samping kawan barunya.
“Setelah Ayah dan Ibu meninggal. Di
rumah aku tinggal dengan Paman, Adik kandung Ayah juga istrinya dan Bibi, adik
perempuan Ayah. Mereka selalu melihatku dengan tatapan yang aneh, entah jijik
atau benci. Menyuruhku mengerjakan ini dan itu seperti pembantu, memberiku
makan dari sisa-sisa makanan mereka. Hanya terkadang Nenek datang menemuiku di
kamar saat telah larut malam, membawakan susu hangat kesukaanku juga beberapa
camilan. Namun, jika bibi-bibiku tahu itu, mereka akan memarahi Nenek dan
memukuliku tanpa ampun. Bahkan mereka pernah mengurungku di dalam kamar mandi.
Di sana sangat dingin, Terry. Aku sangat takut.” Ada lapisan kaca pada netra
gadis itu saat bercerita. Begitu juga dengan Terry yang mendengarkannya. Merasa
beruntung dirinya, meskipun tak pernah mengenali siapa orang tuanya setidaknya
ia tak pernah mengalami apa yang harus dirasakan oleh Anggit.
Terry merangkul tubuh Anggit, “Maaf
pertanyaanku membuatmu sedih, Git.”
Anggit berdengus lalu melanjutkan
ceritanya, “Suatu hari saat tak ada siapa pun di rumah. Dari kebun belakang Paman
berlari, meringis, sambil memegangi tangannya. Paman berkata, ia baru saja
dipatuk ular. Paman membentak memintaku mengambilkan obat atau memanggil siapa
pun untuk menolongnya,” papar Anggit.
“Lalu?”
“Saat Paman masuk ke dalam kamarnya
untuk mencari ponsel, aku … menutup pintu dan menguncinya dari luar.” Anggit
tertawa kecil, “Padahal ponselnya ada di meja makan.”
“Paman
berteriak-teriak sambil menggedor pintu. Kurasa tak ada yang mendengar sebab
rumah kami cukup jauh dari tetangga. Semakin lama suara Paman semakin melemah.
Aku memberanikan diri membuka pintu kamarnya, lalu kudapati Paman tergeletak di
lantai dengan mulut dan hidung yang mengeluarkan darah,” lanjut Anggit.
“Pamanmu
meninggal?” tanya Terry.
“Saat
itu aku tidak tahu. Aku membiarkan pintu kamarnya terbuka lalu pergi ke kamarku
sendiri untuk tidur siang. Setelah Nenek datang membangunkanku, barulah aku
tahu Paman sudah dikuburkan. Tewas karena digigit ular.”
“Ya
Tuhan, Git.” Terry menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Mereka
semua menangis, Ter. Padahal sebelumnya mereka tertawa terbahak-bahak setelah
kematian kedua orang tuaku. Aku … senang melihat mereka bersedih.”
“Aku
mengambil krayon berwarna merah dari tempat peralatan menggambar pemberian Ibu.
Kemudian aku menuliskan nama Paman pada selembar kertas kosong, diikuti nama
istrinya, bibiku yang paling galak dan kerap memukulku.”
…
“Setelah
Paman meninggal, Bibi semakin sering marah tanpa sebab dan memukulku walau aku
tak berbuat apa pun. Lihat ini, Ter.” Anggit menggulung lengan piyamanya dan
menunjukkan bekas luka berwarna kecokelatan di dekat sikutnya.
“Ya
ampun.”
“Ini
bekas gigitan bibiku. Mungkin rasaku enak, hingga bibi sangat suka mengigitku,”
kelakar Anggit.
Tiba-tiba
terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Tidur
anak-anak, sudah malam,” sahut seseorang dari luar. Bergegas Terry menarik
tangan Anggit untuk naik ke atas tempat tidur. Menutup tubuh mereka dengan
selimut, berpura-pura terlelap.
Suara
pintu kamar mereka dibuka, lalu ditutup kembali tak berselang lama. Kedua gadis
itu kembali bangkit duduk di atas tempat tidurnya.
“Cerita
lagi ya, Git. Tapi jangan keras-keras.” Terry meletakkan telunjuknya di bibir.
Anggit
mengangguk.
“Suatu
malam hujan deras, banyak petir seperti sekarang. Aku mengendap-endap masuk ke
dalam kamar Bibi yang galak, kemudian menutup wajahnya dengan bantal dan
mendudukinya. Bibi meronta-ronta bahkan mencakarku dengan kuku-kukunya yang
panjang dan tajam seperti nenek sihir. Tak lama kemudian bibi tak bergerak
lagi. Aku mengambil silet di meja riasnya, lalu … memotong urat nadinya sama
seperti yang bibi lakukan pada ayahku. Darah mengalir deras dari pergelangan
tangannya, jatuh tercecer di lantai berkeramik putih. Setelah itu aku kembali
ke kamarku, keesokan harinya bibiku ditemukan tewas dengan dugaan bunuh diri.”
Terry
menelan ludah merasa ngeri, sementara Anggit terus bercerita dengan wajah yang
dingin tanpa ekspresi.
“Aku
melompat-lompat di atas tempat tidur, Terry. Sejak saat itu aku jadi suka warna
merah. Aku suka saat menuliskan nama mereka dengan warna merah. Untuk
selanjutnya membuat mereka mengeluarkan darah, yang sama merahnya dengan yang
berasal dari tubuh kedua orang tuaku dulu. Aku … tak bisa berhenti, Terry. Aku
ingin membunuh semua orang jahat,” lanjut Anggit.
“Beberapa
bulan kemudian, giliran adik bungsu ayahku yang namanya kutulis dengan warna
merah. Aku juga ingin dia mati, Ter. Namun, sayangnya saat dengan sengaja kudorong
tubuh Bibi dari atas balkon lantai dua rumah kami, seseorang melihat
perbuatanku dan melaporkan aku ke Polisi. Tidak tahu bibiku yang satu itu masih
hidup atau sudah mati. Aku dipenjara entah berapa lama. Aku tak menghitung
harinya. Sampai Nenek datang, entah apa yang dilakukannya hingga aku
dibebaskan, tetapi lalu aku diasingkan. Mataku ditutup selama perjalanan, hingga
akhirnya aku ada di sini,” pungkas Anggit.
Terry
menggenggam tangan Anggit, “Git. Semuanya sudah berlalu. Orang tuamu sudah
tenang. Biarkan Tuhan yang membalas semua perbuatan orang jahat. Di sini kita
memulai hidup yang baru. Mulai dari sekarang, jangan gunakan warna merah untuk
menyakiti orang lain. Anggaplah merah itu warna cinta, Git. Buang jauh-jauh
semua kenangan burukmu tentang warna merah. Kita berteman ya.” Kedua gadis itu
saling menatap.
“Kamu
… tidak takut denganku, Terry?” tanya Anggit dengan suara serak.
Terry
tersenyum lalu menggelengkan kepala, kedua gadis itu pun saling berpeluk haru. Tiba-tiba
lampu menyala, keduanya terkejut lalu tertawa. Mereka memutuskan untuk segera tidur
saat melirik jam di dinding ternyata telah menunjuk angka sebelas. Malam telah
larut tanpa terasa, saat hanyut dalam cerita yang adakala membuat tak keruan
degup dada.
…
Terry
mengerjapkan mata saat samar-samar terdengar kokok ayam dari kejauhan.
“Anggit,”
panggil Terry, tetapi gadis itu rupanya sudah tak ada di sisinya.
Terry
bangkit seraya mengucek kedua matanya. Lalu tanpa sengaja Terry mendapati
selembar kertas yang bertuliskan namanya dengan krayon merah di balik selimut
Angit.
Seketika
jantung Terry berdetak tak keruan. Tangannya gemetar meremas kertas yang ia
ditemukan. Gadis itu teringat yang dikatakan Anggit semalam, bahwa ia akan
menuliskan nama seseorang dengan warna merah sebelum menyakitinya, atau bahkan
membunuhnya.
Mata
Terry bergerak cepat menyapu ke suluruh ruangan kamar, takut bilamana tiba-tiba
Anggit muncul dan berbuat macam-macam. Dalam benaknya muncul banyak pertanyaan,
apa kesalahan yang ia perbuat, kenapa Anggit ingin menyakitinya, dan lain
sebagainya.
Sambil
terisak ketakutan Terry berlari keluar dari dalam kamar menyusuri lorong panti
asuhan yang masih tampak sepi sebab hari masih terlalu pagi. Yang diinginkan
Terry hanyalah segera pergi dari tempat itu sebelum Anggit menemukannya.
Salah
mengambil langkah saat terburu-buru menurunin anak tangga, tubuh Terry terjatuh
berguling-guling dari lantai dua. Seorang pengurus panti yang melihat kejadian
tersebut menjerit, hingga membuat semua orang terbangun. Seketika seluruh
penghuni panti asuhan itu keluar dari dalam kamarnya masing-masing. Tanpa
terkecuali Anggit yang tampak keluar dari dalam kamar mandi.
Terry
dinyatakan meninggal bersimbah darah akibat luka benturan di kepala. Hari itu,
seluruh panti asuhan berduka. Saat semua orang pergi ke pamakaman, Anggit
mengurung diri di dalam kamar.
“Terry.
Kenapa kamu pergi? Aku sudah menulis namamu dengan warna merah yang katamu
adalah warna cinta. Aku hanya memiliki kamu, Ter. Kenapa pergi … kenapa?” lirih
Anggit seraya mendekap erat secarik kertas bertuliskan nama Terry yang ia tulis
dengan warna merah.
Rine Nopianti
Cirebon,
07 November 2018.
EmoticonEmoticon