iklan banner

Rabu, 05 Desember 2018

MERAH

   Api lilin meliuk-liuk beralaskan piring kecil di atas nakas. Sudah separuhnya meleleh, tetapi listrik belum juga menyala.
               Sementara di luar  gaduh petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya silih berganti menghiasi langit malam. Menembus tirai.
               Di salah satu ruang kamar sebuah panti asuhan, dua orang gadis tengah duduk menggelar tikar di atas lantai. Dalam temaram cahaya lilin mereka bertukar cerita.
              “Secara bergantian mereka menikam tubuh ibuku. Tak peduli ia menjerit, hingga suaranya tak terdengar lagi. Lalu salah satu dari mereka memotong urat nadi ayahku. Membuat sedemikian rupa hingga orang-orang mengira ayahlah yang membunuh Ibu, kemudian mengakhiri hidupnya sendiri,” ungkap Anggit.
              “Kamu melihat semuanya?” tanya Terry.
              “Aku bersembunyi di dalam lemari kayu setinggi kurang dari satu meter, yang terletak di ruang kelurga rumah kami. Tempat di mana paman dan bibi-bibiku berbuat keji. Aku mengintip dari sela-sela pintunya dengan tubuh gemetar, juga tangis yang tertahan.”
            “Selain dari saudara-saudara orang tuamu yang telah membunuh mereka, kamu masih punya keluarga ‘kan, Git? Kenapa kamu tidak menceritakan semuanya.”
             Ujung bibir Anggit menyungging, “Tak ada yang percaya padaku, Ter. Bahkan nenekku pun hanya diam saat memergoki perbuatan anak-anaknya yang lain. Membiarkan kedua orang tuaku sekarat, lalu mereka memalsukan penyebab kematian ayah dan ibuku.”
             Terry menyentuh bahu Anggit. Penghuni baru panti asuhan yang menjadi teman sekamarnya sejak seminggu yang lalu. Usia Anggit lima belas tahun, satu tahun lebih muda dibandingkan dengan Terry yang belum lama berulang tahun yang ke enam belas.
            “Aku turut bersedih, Git. Kenapa ya, ada orang sejahat mereka yang bisa menyakiti saudaranya sendiri,” keluh Terry.
            Anggit bangkit berjalan menuju jendela kamar, kemudian membuka tirainya. Gadis itu melempar tatap pada cakrawala gulita, menerobos tetesan air yang tak terhingga memenuhi permukaan kaca,  “Aku tidak pernah bisa mengerti pemikiran orang dewasa.”
            “Seminggu sebelumnya, aku mendengar Ayah dan saudara-saudaranya berbicara dengan suara lantang di meja makan. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena saat itu Ibu segera membawaku ke dalam kamar.” Anggit memberi jeda, “Seminggu setelah kematian kedua orang tuaku, paman merobek-robek sebuah kertas yang sebelumnya Nenek berikan pada Ayah dan Ibu. Mereka menyebut kata warisan.”
            Seketika Terry menutup telinga dengan kedua tangannya saat guruh menggelegar. Sementara Anggit bergeming tak selangkah pun beranjak dari tempatnya.
            “Lalu, bagaimana selanjutnya kamu bisa di bawa ke sini?” selidik Terry.
          Setelah menutup kembali tirai Anggit beranjak duduk di tempatnya semula, di samping kawan barunya.
            “Setelah Ayah dan Ibu meninggal. Di rumah aku tinggal dengan Paman, Adik kandung Ayah juga istrinya dan Bibi, adik perempuan Ayah. Mereka selalu melihatku dengan tatapan yang aneh, entah jijik atau benci. Menyuruhku mengerjakan ini dan itu seperti pembantu, memberiku makan dari sisa-sisa makanan mereka. Hanya terkadang Nenek datang menemuiku di kamar saat telah larut malam, membawakan susu hangat kesukaanku juga beberapa camilan. Namun, jika bibi-bibiku tahu itu, mereka akan memarahi Nenek dan memukuliku tanpa ampun. Bahkan mereka pernah mengurungku di dalam kamar mandi. Di sana sangat dingin, Terry. Aku sangat takut.” Ada lapisan kaca pada netra gadis itu saat bercerita. Begitu juga dengan Terry yang mendengarkannya. Merasa beruntung dirinya, meskipun tak pernah mengenali siapa orang tuanya setidaknya ia tak pernah mengalami apa yang harus dirasakan oleh Anggit.
            Terry merangkul tubuh Anggit, “Maaf pertanyaanku membuatmu sedih, Git.”
            Anggit berdengus lalu melanjutkan ceritanya, “Suatu hari saat tak ada siapa pun di rumah. Dari kebun belakang Paman berlari, meringis, sambil memegangi tangannya. Paman berkata, ia baru saja dipatuk ular. Paman membentak memintaku mengambilkan obat atau memanggil siapa pun untuk menolongnya,” papar Anggit.
            “Lalu?”
            “Saat Paman masuk ke dalam kamarnya untuk mencari ponsel, aku … menutup pintu dan menguncinya dari luar.” Anggit tertawa kecil, “Padahal ponselnya ada di meja makan.”
“Paman berteriak-teriak sambil menggedor pintu. Kurasa tak ada yang mendengar sebab rumah kami cukup jauh dari tetangga. Semakin lama suara Paman semakin melemah. Aku memberanikan diri membuka pintu kamarnya, lalu kudapati Paman tergeletak di lantai dengan mulut dan hidung yang mengeluarkan darah,” lanjut Anggit.
“Pamanmu meninggal?” tanya Terry.
“Saat itu aku tidak tahu. Aku membiarkan pintu kamarnya terbuka lalu pergi ke kamarku sendiri untuk tidur siang. Setelah Nenek datang membangunkanku, barulah aku tahu Paman sudah dikuburkan. Tewas karena digigit ular.”
“Ya Tuhan, Git.” Terry menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Mereka semua menangis, Ter. Padahal sebelumnya mereka tertawa terbahak-bahak setelah kematian kedua orang tuaku. Aku … senang melihat mereka bersedih.”
“Aku mengambil krayon berwarna merah dari tempat peralatan menggambar pemberian Ibu. Kemudian aku menuliskan nama Paman pada selembar kertas kosong, diikuti nama istrinya, bibiku yang paling galak dan kerap memukulku.”
“Setelah Paman meninggal, Bibi semakin sering marah tanpa sebab dan memukulku walau aku tak berbuat apa pun. Lihat ini, Ter.” Anggit menggulung lengan piyamanya dan menunjukkan bekas luka berwarna kecokelatan di dekat sikutnya.
“Ya ampun.”
“Ini bekas gigitan bibiku. Mungkin rasaku enak, hingga bibi sangat suka mengigitku,” kelakar Anggit.
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Tidur anak-anak, sudah malam,” sahut seseorang dari luar. Bergegas Terry menarik tangan Anggit untuk naik ke atas tempat tidur. Menutup tubuh mereka dengan selimut, berpura-pura terlelap.
Suara pintu kamar mereka dibuka, lalu ditutup kembali tak berselang lama. Kedua gadis itu kembali bangkit duduk di atas tempat tidurnya.
“Cerita lagi ya, Git. Tapi jangan keras-keras.” Terry meletakkan telunjuknya di bibir.
Anggit mengangguk.
“Suatu malam hujan deras, banyak petir seperti sekarang. Aku mengendap-endap masuk ke dalam kamar Bibi yang galak, kemudian menutup wajahnya dengan bantal dan mendudukinya. Bibi meronta-ronta bahkan mencakarku dengan kuku-kukunya yang panjang dan tajam seperti nenek sihir. Tak lama kemudian bibi tak bergerak lagi. Aku mengambil silet di meja riasnya, lalu … memotong urat nadinya sama seperti yang bibi lakukan pada ayahku. Darah mengalir deras dari pergelangan tangannya, jatuh tercecer di lantai berkeramik putih. Setelah itu aku kembali ke kamarku, keesokan harinya bibiku ditemukan tewas dengan dugaan bunuh diri.”
Terry menelan ludah merasa ngeri, sementara Anggit terus bercerita dengan wajah yang dingin tanpa ekspresi.
“Aku melompat-lompat di atas tempat tidur, Terry. Sejak saat itu aku jadi suka warna merah. Aku suka saat menuliskan nama mereka dengan warna merah. Untuk selanjutnya membuat mereka mengeluarkan darah, yang sama merahnya dengan yang berasal dari tubuh kedua orang tuaku dulu. Aku … tak bisa berhenti, Terry. Aku ingin membunuh semua orang jahat,” lanjut Anggit.
“Beberapa bulan kemudian, giliran adik bungsu ayahku yang namanya kutulis dengan warna merah. Aku juga ingin dia mati, Ter. Namun, sayangnya saat dengan sengaja kudorong tubuh Bibi dari atas balkon lantai dua rumah kami, seseorang melihat perbuatanku dan melaporkan aku ke Polisi. Tidak tahu bibiku yang satu itu masih hidup atau sudah mati. Aku dipenjara entah berapa lama. Aku tak menghitung harinya. Sampai Nenek datang, entah apa yang dilakukannya hingga aku dibebaskan, tetapi lalu aku diasingkan. Mataku ditutup selama perjalanan, hingga akhirnya aku ada di sini,” pungkas Anggit.
Terry menggenggam tangan Anggit, “Git. Semuanya sudah berlalu. Orang tuamu sudah tenang. Biarkan Tuhan yang membalas semua perbuatan orang jahat. Di sini kita memulai hidup yang baru. Mulai dari sekarang, jangan gunakan warna merah untuk menyakiti orang lain. Anggaplah merah itu warna cinta, Git. Buang jauh-jauh semua kenangan burukmu tentang warna merah. Kita berteman ya.” Kedua gadis itu saling menatap.
“Kamu … tidak takut denganku, Terry?” tanya Anggit dengan suara serak.
Terry tersenyum lalu menggelengkan kepala, kedua gadis itu pun saling berpeluk haru. Tiba-tiba lampu menyala, keduanya terkejut lalu tertawa. Mereka memutuskan untuk segera tidur saat melirik jam di dinding ternyata telah menunjuk angka sebelas. Malam telah larut tanpa terasa, saat hanyut dalam cerita yang adakala membuat tak keruan degup dada.
Terry mengerjapkan mata saat samar-samar terdengar kokok ayam dari kejauhan.
“Anggit,” panggil Terry, tetapi gadis itu rupanya sudah tak ada di sisinya.
Terry bangkit seraya mengucek kedua matanya. Lalu tanpa sengaja Terry mendapati selembar kertas yang bertuliskan namanya dengan krayon merah di balik selimut Angit.
Seketika jantung Terry berdetak tak keruan. Tangannya gemetar meremas kertas yang ia ditemukan. Gadis itu teringat yang dikatakan Anggit semalam, bahwa ia akan menuliskan nama seseorang dengan warna merah sebelum menyakitinya, atau bahkan membunuhnya.
Mata Terry bergerak cepat menyapu ke suluruh ruangan kamar, takut bilamana tiba-tiba Anggit muncul dan berbuat macam-macam. Dalam benaknya muncul banyak pertanyaan, apa kesalahan yang ia perbuat, kenapa Anggit ingin menyakitinya, dan lain sebagainya.
Sambil terisak ketakutan Terry berlari keluar dari dalam kamar menyusuri lorong panti asuhan yang masih tampak sepi sebab hari masih terlalu pagi. Yang diinginkan Terry hanyalah segera pergi dari tempat itu sebelum Anggit menemukannya.
Salah mengambil langkah saat terburu-buru menurunin anak tangga, tubuh Terry terjatuh berguling-guling dari lantai dua. Seorang pengurus panti yang melihat kejadian tersebut menjerit, hingga membuat semua orang terbangun. Seketika seluruh penghuni panti asuhan itu keluar dari dalam kamarnya masing-masing. Tanpa terkecuali Anggit yang tampak keluar dari dalam kamar mandi.
Terry dinyatakan meninggal bersimbah darah akibat luka benturan di kepala. Hari itu, seluruh panti asuhan berduka. Saat semua orang pergi ke pamakaman, Anggit mengurung diri di dalam kamar.
“Terry. Kenapa kamu pergi? Aku sudah menulis namamu dengan warna merah yang katamu adalah warna cinta. Aku hanya memiliki kamu, Ter. Kenapa pergi … kenapa?” lirih Anggit seraya mendekap erat secarik kertas bertuliskan nama Terry yang ia tulis dengan warna merah.



Rine Nopianti
Cirebon, 07 November 2018.


EmoticonEmoticon