Apakah seorang yang tinggal di pedalaman, tidak
mengenal baca tulis, tetapi hidupnya secara zahir kita lihat sudah bahagia
(setiap hari tersenyum, ceria, makan-minum aman, dst); masih harus kita
kenalkan dengan ilmu pengetahuan? Adakah guna ilmu pengetahuan bagi seseorang
yang sudah bahagia?
Dulu, saya pernah bertanya
seperti itu kepada diri saya sendiri. Saat saya ditugaskan pada sebuah
pengeboran migas di land rig, yang
kebetulan tempatnya dekat dengan gubuk-gubuk penduduk di pedalaman sumatera.
Mereka itu, secara kasat mata saya rasa sudah bahagia. Disana saya
menjadi bingung. Bergunakah pendidikan pada orang yang sudah bahagia?
Misalnya, kita yang katakanlah orang-orang kota mengenalkan sebuah
kehidupan dengan taraf yang lebih tinggi pada orang-orang pedalaman, yaitu
kehidupan yang berkelindan dengan baca tulis, komputer, kendaraan, dsb….apakah
kita membuat mereka menjadi lebih bahagia, atau malah mencerabuti kebahagiaan
yang sudah ada (karena mereka tiba-tiba menjadi sadar bahwa taraf perihidup
mereka sekarang ini begitu rendah?)
Jawaban yang lebih “dalam” mengenai kebingungan saya sendiri itu, baru saya
temukan setelah berapa waktu berlalu. Dalam Kimyatus Sa’adah (Kimia
kebahagiaan), Imam Ghazali menyebutkan bahwa sejatinya kebahagiaan itu hanya
didapat dari pengenalan terhadap Tuhan (ma’rifah) selain dari itu, hanya akan
memberikan kebahagiaan yang semu.
Maka jika ditarik balik pada pertanyaan tadi, adakah penting
mengenalkan taraf kehidupan yang lebih tinggi pada penduduk pedalaman yang
sudah bahagia? Jawabannya, ternyata PENTING! Bukan taraf kehidupannya yang
dikenalkan, tetapi ilmu pengetahuan.
Kenapa penting? Karena ini
bukan tentang kita sharing taraf
hidup, tetapi tentang kita menjadi “kalam,” menjadi “pena,” menjadi perantara bagi ilmu dan kepahaman
mengalir dari satu manusia ke manusia lainnya.
Kenapa ilmu menjadi lebih penting ketimbang kebahagiaan yang sudah
ada? Karena, dengan ilmu-lah seseorang bisa mengerti kebahagiaan yang lebih
sejati. Ma’rifah. Ilmu yang membongkar hubungan antar gejala di dunia empirik;
pada pandangan yang tepat akan membuat seseorang mengerti tentang Tuhan.
Setiap manusia mencari bahagia. Dan tiap manusia memiliki versi
bahagianya sendiri. Tetapi, jika tekun meneliti akar permasalahan, maka kita
tidak bisa untuk tidak setuju bahwa apapun hal “kebendaan” yang membuat kita “bahagia”,
ternyata ditelusur lebih dalam lagi adalah tentang siapa yang menimbulkan semua
itu?
Dan Tuhan-lah ujung segala pertanyaaan dan ujung segala jawaban.
Tidakkah mengetahui jawaban segala pertanyaan itu membahagiakan?
Ternyata. Orang-orang arif telah lama memahami bahwa keseluruhan
perikehidupan kita adalah untuk mengenali DIA.
Sedangkan, kita akhirnya
memahami bahwa yang kita sebut dengan mengenali DIA itu sebenarnya adalah “sampainya kepahaman kita pada pengetahuan tentang pengaturanNya
dalam hidup ini.” Memahami yang begitu dekat.
Pengenalan kepada Allah SWT, adalah sama sekali bukan pengenalan
terhadap “dzat”Nya.
Karena, DIA pada martabatNya yang Maha Rahasia itu, adalah di luar
persepsi inderawi manusia. Maka penelitian secanggih apapun, dan tirakat ruhani
sedalam apapun tetap akan gagal menemukan-Nya secara inderawi fisik maupun
batin.
Kata Imam Ghazali, sedangkan untuk mengenali bagian terdekat diri
kita yang berada di luar jangkauan inderawi saja kita bingung.
Misalnya bagaimana
bentuknya “marah,” bentuknya “kehendak”? kita
bingung.
Manusia, kesulitan mempersepsi sesuatu yang berada di luar
jangkauan inderawinya. Karena, manusia hidup di dalam sebuah alam yang dia
persepsi dengan lima inderanya yang terbatas. Dan hal di luar ukuran ruang dan
waktu akan sulit dipersepsi manusia.
Begitulah musykilnya kita mengenali DIA pada dzat-Nya. Pengenalan
terjauh akan dzat-Nya hanyalah berujung pada kesimpulan Surat Al Ikhlas, tak
ada umpama.
Tetapi, pengenalan dan kepahaman akan berkelindannya pengaturan
DIA dalam hidup ini, bisa kita mengerti secara keilmuan.
Begitulah pada akhirnya “ilmu” menjadi sesuatu yang wajib dicari
sampai liang lahat.
Dan “ilmu” lah satu-satunya yang Rasulullah SAW diperintahkan
meminta tambahan atasnya.
Karena, dengan pemahaman yang tepat, kita mengetahui, bahwa dengan
menguasai ilmu, dengan mengerti tentang bagaimana hubungan sebab-akibat segala
sesuatu berlaku di muka bumi ini, dengan begitu semestinya kita semakin
mengerti pengaturannya Tuhan.
Dinamika sebab-akibat yang empiris begitu kompleks dalam hidup
ini. Semua tersingkap dengan ilmu.
Semisal kita ingin menggerakkan jari untuk menulis saja,
melibatkan ratusan juta syaraf yang mengalirkan listrik dan menggerakkan otot.
Belum kalau masuk dalam tataran mikro, sudah sangat sulit membayangkan gerak
mengetik adalah gerak triliunan atom. Dan kepahaman semacam itu, hanya akan
diperoleh dengan ilmu.
Ilmu-lah yang membukakan kepada manusia, selubung rahasia
pengaturan Tuhan pada alam yang terindera, empirik.
Diri-Nya tak terlihat,
tetapi pengaturan-Nya dalam alam ini “terbaca.” Itulah yang kita disuruh IQRO’.
Kreasional-Nya yang kita baca. Sedang DIA sendiri tetaplah rahasia, tetapi
kreasi-Nya meruah-ruah. IQRO BISMIRABBIKA itu adalah “membaca” apapun saja dalam konteks Rabb, dimensi pengaturan
dan kreasi.
Masih kata Imam Ghazali,
dengan mengetahui bahwa hal terdekat dari pribadi kita sendiri, yaitu ruhani
kita, bisa memiliki sebuah “kehendak” yang bisa
menggerakkan alam empirik. “Kehendak” itu kan abstrak, tiada wujudnya, tetapi
bisa menzahirkan gejala di alam terindera.
Begitulah, sebuah “kehendak” untuk minum bisa menggerakkan otot tangan dan
kaki melangkah mengambil gelas air; dengan analogi itu kita bisa mengerti bahwa
sungguh masuk akal, ada alam “kehendak” alam “amr” alam “perintah” yang
abstrak dan diluar dunia empirik tetapi kemudian menghidupkan gejala-gejala
yang tampak kasat mata di dunia luar ini. Pada Mulk (kerajaan-Nya) yang
empirikal.
Jadi mengertilah saya. Bahwa mengenali-Nya adalah puncak pencarian
kebahagiaan manusia.
Dan mengenali-Nya adalah bukan mengindera Dzat-Nya, bagaimanakah
manusia bisa mempersepsi sesuatu diluar ukuran inderawi manusia?
Mengenali-Nya adalah dengan
mengenali pengaturan-Nya dalam hidup. Dalam bahasa yang lebih “arif” kajian terdalam manusia
hanyalah sampai pada ilmu dan pengetahuan mengenai sifat-sifat,
gejala yang nampak pada alam empiris. Tetapi dengan ilmu yang yakin, maka kita paham ada dunia “amr,” dunia “kehendak,” dunia
yang diluar inderawi di sebalik apa yang tampak. Tetapi menggerakkan alam yang
empirik.
Dengan menguasai “ilmu” lah
membuat manusia menjadi “dekat” pada
kepahaman tentang-Nya.
Ilmu dan kepahaman tentang-Nya hanya akan tercurah pada
pembacaan yang punya adab, pada IQRO yang diapit BISMIRABBIKA.
Dan setelah pembacaan yang mencerahkan, maka tak ada yang tersisa
selain menjelmakan kepahaman menjadi amal yang makbulan. Mengajarkan walau satu
ayat.
Dan menjadi “kalam,” perantara bagi kepahaman untuk mengalir dari
satu tempat ke tempat lainnya. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam (QS Al-‘Alaq : 4)
EmoticonEmoticon