iklan banner

Kamis, 29 November 2018

Pena Dan Kehendak


Apakah seorang yang tinggal di pedalaman, tidak mengenal baca tulis, tetapi hidupnya secara zahir kita lihat sudah bahagia (setiap hari tersenyum, ceria, makan-minum aman, dst); masih harus kita kenalkan dengan ilmu pengetahuan? Adakah guna ilmu pengetahuan bagi seseorang yang sudah bahagia?
Dulu, saya pernah bertanya seperti itu kepada diri saya sendiri. Saat saya ditugaskan pada sebuah pengeboran migas di land rig, yang kebetulan tempatnya dekat dengan gubuk-gubuk penduduk di pedalaman sumatera.
Mereka itu, secara kasat mata saya rasa sudah bahagia. Disana saya menjadi bingung. Bergunakah pendidikan pada orang yang sudah bahagia?
Misalnya, kita yang katakanlah orang-orang kota mengenalkan sebuah kehidupan dengan taraf yang lebih tinggi pada orang-orang pedalaman, yaitu kehidupan yang berkelindan dengan baca tulis, komputer, kendaraan, dsb….apakah kita membuat mereka menjadi lebih bahagia, atau malah mencerabuti kebahagiaan yang sudah ada (karena mereka tiba-tiba menjadi sadar bahwa taraf perihidup mereka sekarang ini begitu rendah?)
Jawaban yang lebih “dalam” mengenai kebingungan saya sendiri itu, baru saya temukan setelah berapa waktu berlalu. Dalam Kimyatus Sa’adah (Kimia kebahagiaan), Imam Ghazali menyebutkan bahwa sejatinya kebahagiaan itu hanya didapat dari pengenalan terhadap Tuhan (ma’rifah) selain dari itu, hanya akan memberikan kebahagiaan yang semu.
Maka jika ditarik balik pada pertanyaan tadi, adakah penting mengenalkan taraf kehidupan yang lebih tinggi pada penduduk pedalaman yang sudah bahagia? Jawabannya, ternyata PENTING! Bukan taraf kehidupannya yang dikenalkan, tetapi ilmu pengetahuan.
Kenapa penting? Karena ini bukan tentang kita sharing taraf hidup, tetapi tentang kita menjadi “kalam,” menjadi “pena,” menjadi perantara bagi ilmu dan kepahaman mengalir dari satu manusia ke manusia lainnya.
Kenapa ilmu menjadi lebih penting ketimbang kebahagiaan yang sudah ada? Karena, dengan ilmu-lah seseorang bisa mengerti kebahagiaan yang lebih sejati. Ma’rifah. Ilmu yang membongkar hubungan antar gejala di dunia empirik; pada pandangan yang tepat akan membuat seseorang mengerti tentang Tuhan.
Setiap manusia mencari bahagia. Dan tiap manusia memiliki versi bahagianya sendiri. Tetapi, jika tekun meneliti akar permasalahan, maka kita tidak bisa untuk tidak setuju bahwa apapun hal “kebendaan” yang membuat kita “bahagia”, ternyata ditelusur lebih dalam lagi adalah tentang siapa yang menimbulkan semua itu?
Dan Tuhan-lah ujung segala pertanyaaan dan ujung segala jawaban. Tidakkah mengetahui jawaban segala pertanyaan itu membahagiakan?
Ternyata. Orang-orang arif telah lama memahami bahwa keseluruhan perikehidupan kita adalah untuk mengenali DIA.
Sedangkan, kita akhirnya memahami bahwa yang kita sebut dengan mengenali DIA itu sebenarnya adalah “sampainya kepahaman kita pada pengetahuan tentang pengaturanNya dalam hidup ini.” Memahami yang begitu dekat.
Pengenalan kepada Allah SWT, adalah sama sekali bukan pengenalan terhadap “dzat”Nya.
Karena, DIA pada martabatNya yang Maha Rahasia itu, adalah di luar persepsi inderawi manusia. Maka penelitian secanggih apapun, dan tirakat ruhani sedalam apapun tetap akan gagal menemukan-Nya secara inderawi fisik maupun batin.
Kata Imam Ghazali, sedangkan untuk mengenali bagian terdekat diri kita yang berada di luar jangkauan inderawi saja kita bingung.
Misalnya bagaimana bentuknya “marah,” bentuknya “kehendak”? kita bingung.
Manusia, kesulitan mempersepsi sesuatu yang berada di luar jangkauan inderawinya. Karena, manusia hidup di dalam sebuah alam yang dia persepsi dengan lima inderanya yang terbatas. Dan hal di luar ukuran ruang dan waktu akan sulit dipersepsi manusia.
Begitulah musykilnya kita mengenali DIA pada dzat-Nya. Pengenalan terjauh akan dzat-Nya hanyalah berujung pada kesimpulan Surat Al Ikhlas, tak ada umpama.
Tetapi, pengenalan dan kepahaman akan berkelindannya pengaturan DIA dalam hidup ini, bisa kita mengerti secara keilmuan.
Begitulah pada akhirnya “ilmu” menjadi sesuatu yang wajib dicari sampai liang lahat.
Dan “ilmu” lah satu-satunya yang Rasulullah SAW diperintahkan meminta tambahan atasnya.
Karena, dengan pemahaman yang tepat, kita mengetahui, bahwa dengan menguasai ilmu, dengan mengerti tentang bagaimana hubungan sebab-akibat segala sesuatu berlaku di muka bumi ini, dengan begitu semestinya kita semakin mengerti pengaturannya Tuhan.
Dinamika sebab-akibat yang empiris begitu kompleks dalam hidup ini. Semua tersingkap dengan ilmu.
Semisal kita ingin menggerakkan jari untuk menulis saja, melibatkan ratusan juta syaraf yang mengalirkan listrik dan menggerakkan otot. Belum kalau masuk dalam tataran mikro, sudah sangat sulit membayangkan gerak mengetik adalah gerak triliunan atom. Dan kepahaman semacam itu, hanya akan diperoleh dengan ilmu.
Ilmu-lah yang membukakan kepada manusia, selubung rahasia pengaturan Tuhan pada alam yang terindera, empirik.
Diri-Nya tak terlihat, tetapi pengaturan-Nya dalam alam ini “terbaca.” Itulah yang kita disuruh IQRO’. Kreasional-Nya yang kita baca. Sedang DIA sendiri tetaplah rahasia, tetapi kreasi-Nya meruah-ruah. IQRO BISMIRABBIKA itu adalah “membaca” apapun saja dalam konteks Rabb, dimensi pengaturan dan kreasi.
Masih kata Imam Ghazali, dengan mengetahui bahwa hal terdekat dari pribadi kita sendiri, yaitu ruhani kita, bisa memiliki sebuah “kehendak” yang bisa menggerakkan alam empirik. “Kehendak” itu kan abstrak, tiada wujudnya, tetapi bisa menzahirkan gejala di alam terindera.
Begitulah, sebuah “kehendak” untuk minum bisa menggerakkan otot tangan dan kaki melangkah mengambil gelas air; dengan analogi itu kita bisa mengerti bahwa sungguh masuk akal, ada alam “kehendak” alam “amr” alam “perintah” yang abstrak dan diluar dunia empirik tetapi kemudian menghidupkan gejala-gejala yang tampak kasat mata di dunia luar ini. Pada Mulk (kerajaan-Nya) yang empirikal.
Jadi mengertilah saya. Bahwa mengenali-Nya adalah puncak pencarian kebahagiaan manusia.
Dan mengenali-Nya adalah bukan mengindera Dzat-Nya, bagaimanakah manusia bisa mempersepsi sesuatu diluar ukuran inderawi manusia?
Mengenali-Nya adalah dengan mengenali pengaturan-Nya dalam hidup. Dalam bahasa yang lebih “arif” kajian terdalam manusia hanyalah sampai pada ilmu dan pengetahuan mengenai sifat-sifat, gejala yang nampak pada alam empiris. Tetapi dengan ilmu yang yakin, maka kita paham ada dunia “amr,” dunia “kehendak,” dunia yang diluar inderawi di sebalik apa yang tampak. Tetapi menggerakkan alam yang empirik.
Dengan menguasai “ilmu” lah membuat manusia menjadi “dekat” pada kepahaman tentang-Nya.
Ilmu dan kepahaman tentang-Nya hanya akan tercurah pada pembacaan yang punya adab, pada IQRO yang diapit BISMIRABBIKA.
Dan setelah pembacaan yang mencerahkan, maka tak ada yang tersisa selain menjelmakan kepahaman menjadi amal yang makbulan. Mengajarkan walau satu ayat.
Dan menjadi “kalam,” perantara bagi kepahaman untuk mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (QS Al-‘Alaq : 4)



EmoticonEmoticon